STRATEGI: Decision Makers dan Pemahaman Bisnis
oleh Amalia Maulana*
Sabtu, 31 Desember 2011
Tahun lalu, anak saya
maagnya terganggu dan harus di rawat di rumah sakit karena stres akibat ujian
sekolah dan makan tidak teratur.
Dokter meminta persetujuan untuk pemeriksaan
endoskopi yang cukup mahal. Seingat saya, pada saat itu saya tidak pernah
bertanya kepada dokter, apakah ada jaminan bahwa kalau sudah diperiksa dan
ketemu masalah maagnya, anak saya pasti sembuh 100%.
Saya mengerti, bahwa setelah ketemu penyakitnya
pun, masih banyak faktor lain yang harus dipikirkan dan dikerjakan. Misalnya
dengan mempelajari jenis-jenis makanan yang boleh dan tidak boleh dimakannya.
Lalu, menjaga makanannya sehari-hari dan mengingatkan anak untuk lebih rileks
dalam belajar.
Jadi, secara realistis, saya tidak minta dokter
itu memastikan bahwa setelah treatment endoskopi, anak saya dijamin sembuh.
Karena itu, buat saya aneh sekali mendengar
seorang decision maker yang bertanya apakah ada jaminan bahwa brand saya akan
sukses apabila mengikuti rekomendasi Anda untuk rebranding?
Sukses tidaknya aktivitas rebranding bukan
ditentukan oleh dokter atau konsultan seperti saya ini, tetapi pemahaman dan
pelaksanaan prosesnya nanti. Ternyata ada persoalan yang lebih berat yang
dihadapi oleh perusahaan tersebut, yaitu, sang decision maker, belum memahami
big picture proses branding!
Seperti dokter, konsultan bisnis menggali dan mencari
permasalahan. Tes endoskopi memasukkan alat kamera ke dalam saluran pencernaan
untuk melihat di sebelah mana kerusakannya. Demikian pula dengan yang saya
kerjakan, dengan alat ethnography, mencari akar permasalahan bisnis hingga
ketemu apa saja yang perlu dibenahi dan dari sanalah ditarik rekomendasi.
Gara-gara pertanyaan jaminan sukses dalam
rebranding tersebut, teringat kembali anak saya yang setelah endoskopi dan
ketahuan penyakitnya, masih sempat masuk rumah sakit dua kali lagi. Tentu
karena kesalahannya sendiri, tidak mengikuti aturan yang telah dijelaskan oleh
dokter, termasuk ahli gizinya.
Kegiatan rebranding tidak sederhana. Implikasi
rebranding dari sisi biaya cukup luas. Misalnya saja, jika yang kita bahas ini
bentuknya restoran, tentu bukan hanya sekedar mengubah papan nama saja.
Rebranding memerlukan restrukturisasi menu, perlu menata ulang tata letak
restoran dan sebagainya.
Yang tersulit adalah bagaimana memastikan agar
frontliners ikut serta dalam proses rebranding ini, mengerti seperti apa
perubahannya dari sikap terhadap pengunjung, cara melayani, hingga dalam
menjaga agar pesan yang ditampilkannya selalu in-line dengan pesan brand.
Lalu, biaya termahal dari rebranding adalah
investasi komunikasi pemasaran. Tidak bisa hanya mengandalkan trafik
pengunjung yang datang ke restoran dan diharapkan terkesan setelah membaca
papan nama secara langsung.
Komunikasi pemasaran lebih luas dari bentuk iklan
konvensional saja. Kegiatan image building bukannya tanpa biaya. Dalam kegiatan brand
activation, biaya yang dikeluarkan untuk sampling dan gift/promosi
biasanya juga tidak sedikit.
Apakah perusahaan siap berinvestasi dan
melaksanakan rebranding secara benar? Jaminan sukses bukan pada identifikasi
permasalahan saja, tetapi pada pelaksanaan.
Pertanyaan apakah sakit kepala saya akan hilang
dalam sekejap dengan meminum obat paten ini? Ya, jika penyebab sakit kepala
hanyalah akibat kehujanan semalam, mungkin obat sakit kepala tersebut akan
instan berhasil.
Namun jika sakit kepala tersebut hanya gejala dari
sebuah penyakit lain yang tidak terdeteksi secara kasat mata, yakinlah, tidak
akan ada jenis obat sakit kepala yang bisa menyembuhkan.
Tanpa identifikasi sumber penyakitnya secara
seksama, sakit kepala dijamin akan berkepanjangan.
Masih banyak yang rancu antara kegiatan
identifikasi permasalahan bisnis dengan kegiatan pelaksanaan penyelesaian
masalah bisnis. Proses identifikasi yang seksama akan mengerucutkan
permasalahan. Proses berikutnya yaitu penyelesaian masalah (proses
penyembuhannya) pasti menjadi lebih sederhana.
Identifikasi permasalahan yang dilakukan secara
permukaan saja maka proses penyembuhan tentu masih trial and error. Ini yang
justru sangat mahal, karena setiap kesalahan yang terjadi berarti timbul
masalah baru dan butuh biaya lain untuk menyelesaikannya.
Dalam proses identifikasi isu, kita membutuhkan
studi kualitatif karena sifatnya yang eksploratif, menggali aspek yang belum
diketahui. Studi kuantitatif baru dibutuhkan pada tahapan konfirmasi
permasalahan, yang menggunakan angka dan data pengolahan statistik.
Tugas saya sebagai agent of change memang tidak
pernah mudah, terutama menghadapi decision maker yang masih menggunakan
paradigma lama. Hanya mau bergerak bila 'sudah ada angkanya'. Jadi bukan fokus
pada filosofi permasalahan.
Dalam proses pengenalan segmentasi dunia
konsultasi bisnis yang sedang saya jalankan, sedikit demi sedikit mulai
tergambar petanya.
Menemukan agent of change
Hal membedakan klient satu dengan lainnya adalah
dari tipe decision makers-nya. Pertama, tipe yang mempunyai perspektif luas,
memahami secara bijaksana bahwa dunia sudah bergerak cepat dan harus mengikuti
perubahan cara berpikir.
Kedua, yang masih bertahan pada pemahaman
tradisional dan berpikir secara matematika saja. Setiap permasalahan harus
selalu dikuantifikasi tanpa melihat esensi dari permasalahan itu sendiri.
Yang menarik, segmentasi ini ternyata tidak ada
hubungannya dengan jenis perusahaan dan industrinya. Multinasional versus
lokal, sama saja. BUMN atau perusahaan swasta, sama saja. Perusahaan besar atau
kecil, sama saja. B2C atau B2B? Juga sama saja.
Semua ditentukan oleh tipe orang yang duduk di
jabatan tertingginya. Apakah decision maker masuk segmen tipe pertama dimana siap
menjadi agent of change atau masuk segmen tipe kedua dimana
masih ada di dalam comfort zone-nya sendiri?
Dalam pertemuan dengan decision maker, dari obrolan dan perspektifnya langsung
tergambar, masuk segmen manakah beliau. Untuk yang segmen tipe kedua, tanpa
harus berlama-lama menyelami masalah bisnisnya, intuisi saya sudah menunjukkan,
bahwa persoalan perusahaan yang terbesar ada pada beliau ini.
The number one
person is part of the problem. Dalam situasi ini, biasanya saya tidak tertarik untuk ikut
lebih jauh memikirkan eksplorasi persoalan bisnisnya.
Tugas pertama saya adalah menemukan agent of
change di perusahaan. Barulah saya akan siap menari. Seperti pepatah
mengatakan, 'It takes two
to tango'! (tw)
*) Amalia Maulana adalah
Director Etnomark Consulting, penulis buku Consumer Insights via Etnography dan Brandmate: Mengubah Just Friends menjadi Soulmates
Tulisan tayang di Bisnis.com pada Sabtu, 31 Desember 2011
0 Komentar