Konflik terbuka antara Iran dan Israel kini berada di titik kritis. Di tengah serangan rudal, negosiasi nuklir dibayangi kebuntuan, dan aktor-aktor regional bersiap menghadapi skenario terburuk.
Ketegangan antara Iran dan Israel yang selama ini berlangsung di balik layar akhirnya meledak ke permukaan. Untuk pertama kalinya sejak dekade 2000-an, Iran meluncurkan rudal balistik ke wilayah selatan Israel sebagai balasan atas serangan udara yang merusak fasilitas strategisnya, termasuk reaktor nuklir Khondab yang masih dalam pembangunan.
Kejadian ini menjadi simbol pergeseran konflik dari perang bayangan menjadi perang terbuka. Di tengah situasi yang kian tak menentu, berbagai pihak mulai bersuara: dari peringatan Rusia tentang potensi destabilisasi kawasan, hingga desakan Eropa agar diplomasi diberi ruang untuk bekerja.
Serangan Rudal dan Kegagalan Sistem Pertahanan
Salah satu rudal Iran dilaporkan menghantam kawasan Beersheba, menyebabkan kerusakan pada infrastruktur sipil dan bangunan teknologi tinggi. Sistem pertahanan udara Israel gagal mencegat rudal tersebut, yang disebut sebagai “malfungsi teknis”. Sementara itu, Israel mengklaim telah menghancurkan tiga peluncur rudal di Iran dan menargetkan seorang komandan militer.
Meski jumlah korban terbatas, insiden ini menunjukkan meningkatnya kemampuan Iran dalam menjangkau target jauh di dalam wilayah Israel. Bagi publik Israel, ini adalah sinyal bahaya yang meningkatkan tekanan terhadap pemerintahan Netanyahu untuk bertindak lebih agresif.
Eropa Dorong Diplomasi, Iran Tarik Rem
Di Jenewa, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menghadiri pertemuan dengan Menlu Inggris, Prancis, dan Jerman. Namun, ia menegaskan bahwa Iran tak akan berunding selagi serangan Israel berlanjut, dan bahwa program misil Teheran “tidak untuk dinegosiasikan.”
Pernyataan itu menyulitkan misi diplomatik Eropa yang berharap dapat membuka kembali dialog nuklir. Inggris menyebut ada “jendela waktu dua minggu” untuk mendorong de-eskalasi, namun retorika keras dari kedua belah pihak menunjukkan tantangan besar untuk menghidupkan kembali jalur negosiasi.
Amerika dalam Dilema: Penengah atau Pemicu?
Di Washington, Pemerintahan Trump terbagi. Di satu sisi, AS dituding Iran sebagai dalang di balik agresi Israel. Di sisi lain, beberapa diplomat AS, seperti Steve Witkoff, masih membuka kemungkinan pertemuan lanjutan jika situasi mereda. Namun banyak analis percaya bahwa Netanyahu memang menginginkan AS terlibat langsung dalam konflik, sebagai bagian dari upaya mendorong perubahan rezim di Teheran.
Pernyataan tersebut diamini oleh akademisi Australia Shahram Akbarzadeh yang menyebut konflik ini sebagai “skenario yang telah dirancang” untuk menggagalkan negosiasi nuklir Iran-AS dan menyeret Washington ke dalam perang terbuka.
Rusia: Penjaga Keseimbangan atau Penonton Aktif?
Rusia, yang memiliki investasi strategis dalam proyek nuklir Iran dan jalur perdagangan Trans-Kaukasus, menyampaikan kekhawatirannya secara terbuka. Moskow memperingatkan Israel untuk tidak menyerang fasilitas sipil seperti PLTN Bushehr, di mana lebih dari 200 teknisi Rusia masih bekerja. Presiden Putin bahkan menyebut konflik ini sebagai ancaman terhadap stabilitas kawasan dari Teluk hingga Laut Kaspia.
Jika konflik terus berlanjut, Rusia kemungkinan akan mengambil posisi lebih aktif—bukan hanya demi sekutunya di Teheran, tapi untuk mencegah perluasan pengaruh AS-Israel di Kaukasus dan Asia Tengah.
Hezbollah dan Lebanon: Nyaris Terlibat
Sementara itu, perhatian tertuju pada Hezbollah di Lebanon. Meski kelompok bersenjata itu mengutuk agresi Israel, sejauh ini belum ada aksi militer langsung. Ketua Parlemen Lebanon Nabih Berri menyatakan bahwa negaranya “tidak akan ikut perang”, tetapi potensi aktivasi Hezbollah tetap terbuka, terutama jika AS resmi terlibat dalam serangan.
Dengan sejarah konflik 2006 sebagai latar, keterlibatan Hezbollah akan membuka front baru yang sangat berbahaya dan bisa memicu perang lintas negara.
Kapan dan Di Mana Konflik Ini Berakhir?
Sampai hari ini, tak ada satu pun pihak yang tahu kapan konflik akan berakhir. PM Netanyahu menolak memberi batas waktu. Iran menyatakan akan terus membalas jika diserang. AS tampak gamang antara mendukung penuh Israel atau membuka celah diplomasi. Eropa berusaha menjadi penengah, tapi tak memiliki daya tekan militer.
Yang jelas, setiap hari yang berlalu tanpa gencatan senjata adalah hari yang membawa kawasan Timur Tengah semakin dekat ke jurang perang regional.
0 Komentar