Jika dulu emas ditambang dari perut bumi, kini ia terpancar dari layar ponsel. Pada tahun 2025, Indonesia berdiri di atas tambang digital yang nyaris tak terbatas. Bukan lagi soal kekayaan alam, tapi data, koneksi, dan kreativitas.
Dengan 220 juta pengguna internet, 190 juta pengguna media sosial, dan 100 juta pemain gim aktif, Indonesia menjadi pasar digital paling semarak di Asia Tenggara. Tapi pertanyaannya bukan lagi berapa banyak yang online, melainkan: berapa banyak yang ikut untung?
Dari Konsumen Menjadi Produsen
Sebagian besar masyarakat Indonesia hari ini adalah konsumen digital: menonton, membeli, bermain. Tapi gelombang baru mulai muncul—mereka yang memanfaatkan sinyal sebagai sumber pendapatan.
- Seorang ibu rumah tangga di Parepare menjual keripik pisang lewat TikTok Shop, dan kini omsetnya setara warung di kota.
- Seorang pemuda di Garut membuat konten tutorial main Mobile Legends, lalu dikontrak brand headset asal Taiwan.
- Di Wonosobo, sekelompok petani muda memantau kelembapan tanah melalui sensor IoT yang mereka rakit sendiri dari tutorial YouTube.
Semua itu mungkin bukan karena bantuan negara, melainkan karena kreativitas warga dan akses internet yang (akhirnya) tersedia.
Menurut laporan terbaru, e-commerce Indonesia telah menembus US$100 miliar. Tapi peluang itu belum merata.
Bayangkan jika:
- Hanya 10% dari 20 juta UMKM yang sudah digital menjual produk mereka ke luar negeri melalui kampanye lokal bertaraf global.
- Peternak kecil menggunakan IoT sederhana untuk mengatur suhu kandang atau jadwal vaksinasi, sehingga produktivitas meningkat 3x lipat.
- Desa-desa wisata membangun tur virtual 360 derajat lewat YouTube dan mulai menarik donasi turis digital yang penasaran.
Ekonomi digital bukan hanya soal unicorn dan startup, tapi juga soal menjual mangga via WhatsApp, live shopping di TikTok, hingga menjahit pesanan seragam sekolah lewat DM Instagram.
Fintech & Inklusi: Dari Bank ke Tangan
Dengan 95 juta pengguna dompet digital dan 1,5 miliar transaksi QRIS, uang kini berpindah tangan dalam hitungan detik. Tapi lebih dari itu, teknologi keuangan membuka peluang baru untuk rakyat kecil.
- Warung kelontong kini bisa menerima pembayaran tanpa mesin EDC mahal.
- Tukang sayur menerima pembayaran dengan QR yang digambar di papan tripleks.
- Layanan P2P lending memungkinkan petani mendapatkan modal tanam tanpa harus menyanggupi bunga lintah darat.
Teknologi keuangan bukan sekadar tren, ia bisa menjadi tulang punggung ekonomi mikro jika diarahkan dengan tepat.
Digital Bukan Jakarta Saja
Masih ada 40 juta penduduk tanpa akses internet stabil. Tapi itu artinya ada 40 juta alasan untuk membangun infrastruktur digital yang lebih merata.
Jika pemerintah berhasil membangun 100 ribu BTS 5G dalam 5 tahun ke depan seperti yang direncanakan, maka petani di Bone, pengrajin di Rote, hingga nelayan di Tual bisa terhubung dalam satu ekosistem pasar nasional—bahkan global.
Digitalisasi bukan hanya soal kecepatan internet, tapi kecepatan redistribusi peluang.
Indonesia tidak kekurangan pengguna. Tapi masih kekurangan navigator digital. Mereka yang bisa menghubungkan teknologi dengan kebutuhan masyarakat. Mereka yang bisa menyulap koneksi menjadi penghasilan.
Pemerintah bisa mulai:
- Mendorong konten edukasi yang bisa langsung diterapkan masyarakat (bukan sekadar kampanye).
- Membangun ekosistem kreator desa—dari pertanian hingga kriya.
- Membuka akses modal untuk inovasi digital rakyat, bukan hanya startup elit kota.
Karena jika tak diarahkan, konektivitas hanya akan menciptakan ketimpangan baru: antara yang tahu cara memanfaatkan internet dan yang hanya jadi objek iklan.
Emas tak lagi dicari dengan cangkul, tapi dengan ide dan jaringan. Revolusi digital Indonesia bukan soal siapa paling kaya, tapi siapa yang paling berdaya.
Dan hari ini, peluang itu sudah ada di genggaman 220 juta orang.
0 Komentar