Dua dekade lalu, pemilik media digital hidup dengan satu prinsip sakral: tulislah konten yang ramah mesin pencari, dan trafik akan mengalir seperti sungai di musim hujan. Frasa kunci dipilih dengan saksama, judul ditata agar ramah algoritma, dan panjang tulisan disesuaikan demi memikat para “crawler” Google.
Namun, zaman itu tengah tenggelam. Di bawah bayang-bayang kecanggihan artificial intelligence, terutama dalam bentuk AI Mode milik Google, aktivitas “googling” sebagaimana kita mengenalnya perlahan berubah wujud—jika bukan sepenuhnya sekarat.
Google, ironisnya, sedang membunuh sumber kehidupan yang selama ini ia ciptakan sendiri: ekosistem media online.
Dari Klik ke Ringkasan
Dalam ajang Google I/O 2025, di San Francisco, raksasa teknologi itu memperkenalkan “AI Mode” dengan nada penuh percaya diri. Fitur ini disebut sebagai bentuk penelusuran paling canggih: pengguna tak perlu lagi mengklik banyak tautan. Cukup ketik pertanyaan, dan mesin akan menyajikan jawaban lengkap, ringkas, bahkan dipersonalisasi berdasarkan histori pencarian, email, hingga lokasi pengguna.
Ia tak hanya menjawab, tetapi berpikir—atau setidaknya meniru cara berpikir manusia—untuk merumuskan simpulan, saran, hingga opsi pembelian. Tidak ada lagi tautan yang minta diklik, tidak ada lagi iklan pop-up atau SEO konten. Hanya jawaban, dan selesai.
“Ketika orang menggunakan AI Overviews, mereka lebih puas dengan hasil pencarian, dan mereka melakukan lebih banyak kueri jenis ini,” kata Elizabeth Reid, Kepala Penelusuran Google. Kepuasan pengguna meningkat. Tapi bagi media, statistik itu terasa seperti vonis hukuman mati yang diketik rapi.
Menjadi Bahan Mentah AI
Jika dulu situs berita menjadi tujuan pengguna Google, kini mereka hanya sumber bahan baku. AI Google, dan banyak kompetitornya, mengindeks ribuan artikel dari media global, lalu mengolahnya menjadi satu jawaban ringkas yang tak menyebut nama penulis, tak memberi kredit pada redaksi, dan tentu saja—tak mengalirkan trafik balik.
AI mencomot dari artikel yang ditulis dengan peluh, investigasi, bahkan risiko hukum. Tapi ketika jawabannya muncul, pembaca tak lagi butuh datang ke media asal. Pengetahuan telah dikunyah, dicerna, dan disuapkan ulang.
Maka media online menghadapi kenyataan pahit: bukan hanya kehilangan pembaca, tapi kehilangan posisi dalam rantai nilai digital.
Bukan Lagi Masalah SEO
Pertanyaan yang kini mengemuka bukan lagi “Bagaimana agar artikel kami muncul di Google?”, melainkan, “Bagaimana agar media kami tetap hidup ketika Google tidak lagi membawa siapa-siapa ke sini?”
Jawaban paling jujur barangkali ini: Tidak cukup hanya menulis berita. Media harus berubah bentuk, fungsi, bahkan struktur ekonominya.
Mencari Jalan Keluar
Sebagian media kini mulai berpikir ulang tentang nilai apa yang mereka tawarkan selain berita. Langkah pertama: beranjak dari ketergantungan pada klik menuju monetisasi atas data, kredibilitas, dan komunitas.
Alih-alih menunggu belas kasih trafik dari algoritma, mereka membangun komunitas pembaca yang loyal: lewat kanal Telegram, forum privat, atau newsletter yang dikurasi secara personal. Mereka bukan sekadar menerbitkan berita, melainkan membentuk ruang percakapan. Mereka tak lagi menjual akses baca, melainkan keanggotaan dalam gerakan pencari makna.
Beberapa redaksi bereksperimen dengan API konten, lisensi data, hingga menjual kursus berbasis keahlian redaksi. Mereka sadar, yang paling bernilai bukan lagi berita, tetapi pengetahuan terstruktur dan pengalaman interaktif.
Media bisa—dan harus—berubah dari kantor berita menjadi platform edukasi, pusat verifikasi, laboratorium narasi, bahkan inkubator konten kreator. Formatnya bisa podcast, visual explainer, simulasi berbasis AI, atau game interaktif. Eksperimen New York Times membuat game “You Draw It” untuk menjelaskan data ketimpangan sosial adalah satu contoh kecil dari pendekatan ini.
Ekonomi Baru: Dari Publisher ke Ecosystem Builder
Di masa depan, media mungkin lebih mirip perusahaan teknologi—memiliki produk, alat bantu, bahkan perangkat pintar yang membantu masyarakat menavigasi informasi.
Mereka bisa menjadi media-as-a-service—menjual layanan editorial untuk lembaga lain. Atau menjelma sebagai knowledge partner bagi sekolah, LSM, bahkan korporasi yang ingin menyajikan narasi berkualitas.
Beberapa di antaranya bisa menjadi kurator terpercaya untuk sistem AI. Bayangkan jika chatbot cerdas masa depan hanya menggunakan sumber dari media yang terverifikasi dan tergabung dalam aliansi publisher global. Di situlah nilai baru bisa diciptakan—jika tidak dituntut secara hukum, maka melalui kolaborasi.
Menulis untuk Masa Depan
Dunia memang tak lagi dibaca seperti dulu. Tapi bukan berarti tak bisa ditulis ulang.
Media harus mengakui bahwa mereka tidak sedang menghadapi gangguan sementara. Ini adalah pergeseran paradigmatik: dari media berbasis tautan menjadi media berbasis makna.
Jika dulu misi media adalah menyampaikan kabar, kini misi mereka adalah menjaga relevansi manusia dalam lautan jawaban buatan mesin.
Karena pada akhirnya, orang tak hanya mencari informasi. Mereka mencari pemahaman, rasa percaya, dan keterhubungan. Itulah tempat di mana media, jika bersedia bertransformasi, akan tetap dibutuhkan.
0 Komentar