Receh.in – Dalam panggung diplomasi global yang selalu bergejolak, pertemuan antara Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada Selasa (15/7) di Beijing menjadi sorotan utama.
Kunjungan enam hari Albanese ke Tiongkok, yang juga mencakup Shanghai dan Chengdu, adalah sebuah upaya strategis untuk memperkuat kembali hubungan bilateral yang sempat merenggang, bahkan hampir putus, di bawah pemerintahan Australia sebelumnya.
Hubungan Australia-Tiongkok, yang oleh Albanese diusung dengan filosofi "bekerja sama jika memungkinkan, tidak setuju jika harus," kini memasuki babak baru yang lebih pragmatis.
Seperti yang dilaporkan Lewis Jackson dan Kirsty Needham dari Reuters, dialog menjadi kunci utama dalam memajukan kepentingan kedua negara, mengelola perbedaan, dan mencegah kesalahpahaman.
Mendinginkan Ketegangan
Di tengah persaingan strategis di kawasan Indo-Pasifik, Tiongkok dan Australia menunjukkan keinginan untuk menjaga jalur dialog tetap terbuka dan mencari area kerja sama.
Xi Jinping bahkan secara eksplisit menyerukan kedua negara untuk menjaga perdagangan bebas, sebuah pernyataan yang terasa menohok kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, meskipun tanpa menyebut namanya.4 Xi menyebut sistem internasional saat ini "kompleks dan bergejolak," menekankan perlunya multilateralisme.
Meski demikian, kunjungan Albanese belum menghasilkan kesepakatan investasi atau perdagangan baru yang besar. Namun, sinyal positif terlihat dari kesepakatan untuk meninjau kembali perjanjian perdagangan bebas berusia satu dekade antara kedua negara. Australia, yang menjadikan Tiongkok sebagai mitra dagang terbesarnya, akan terus memisahkan hubungan dagangnya dari isu-isu seperti tarif AS.
Salah satu poin menarik dari pertemuan ini adalah kesepakatan untuk membentuk Dialog Kebijakan Baru tentang Dekarbonisasi Baja. Ini memberikan kesempatan bagi Australia untuk memahami lebih dalam perencanaan pemerintah Tiongkok terkait transisi energi. Selain itu, perjanjian di bidang pariwisata, inspeksi bea cukai, dan pertanian juga ditandatangani, menandakan diversifikasi kerja sama.
Batasan Kerja Sama dan Isu Sensitif
Tentu saja, kerja sama ini bukan tanpa batas. Kekhawatiran Australia terhadap peningkatan kekuatan militer Tiongkok menjadi ganjalan yang tak bisa diabaikan. Albanese secara langsung menyampaikan keprihatinan Australia mengenai latihan tembakan langsung angkatan laut Tiongkok di Laut Tasman pada Februari lalu. Tanggapan Xi, bahwa Tiongkok "melakukan latihan seperti halnya Australia," menggarisbawahi realitas persaingan strategis di kawasan.
Selain itu, Albanese juga mengangkat kasus penulis Australia yang dipenjara, Yang Hengjun, menunjukkan bahwa isu hak asasi manusia dan konsuler tetap menjadi bagian penting dari agenda.
Di sisi lain, Beijing juga memiliki keberatan terhadap kebijakan Canberra, seperti pengetatan pengawasan investasi asing di mineral kritis dan janji Albanese untuk mengembalikan kepemilikan pelabuhan yang disewa Tiongkok kepada Australia.
Prospek Masa Depan: Pragmatisme dan Saling Ketergantungan
Kunjungan Albanese ini mencerminkan pendekatan pragmatis kedua negara untuk mengelola hubungan mereka. Delegasi bisnis Australia, yang menyertai Albanese dan termasuk raksasa pertambangan seperti Rio Tinto, BHP, dan Fortescue, bertemu dengan pejabat industri baja Tiongkok. Ini menegaskan bahwa terlepas dari perbedaan politik, ketergantungan ekonomi tetap kuat, terutama dalam ekspor bijih besi Australia ke Tiongkok.
Diskusi meja bundar CEO juga merekomendasikan modernisasi perjanjian perdagangan bebas dan kolaborasi dalam penelitian dan pengembangan logam hijau, menunjukkan potensi kerja sama di sektor-sektor baru. Kehadiran perusahaan-perusahaan besar Tiongkok dan Australia seperti BYD, Baowu, dan COFCO dalam pertemuan tersebut menandakan keinginan kuat dari sektor swasta untuk mendorong kembali hubungan bisnis.
Singkatnya, pertemuan di Beijing ini bukan sekadar kunjungan kenegaraan biasa. Ini adalah sebuah narasi tentang bagaimana dua negara dengan sistem politik dan aliansi strategis yang berbeda berupaya menemukan titik temu, menavigasi kompleksitas geopolitik, dan memanfaatkan potensi ekonomi demi kepentingan bersama. Dialog, tampaknya, akan menjadi kompas utama dalam perjalanan hubungan Australia-Tiongkok ke depan.
Bagaimana menurut Anda, apakah pendekatan "bekerja sama jika memungkinkan, tidak setuju jika harus" ini akan menjadi model efektif untuk hubungan internasional di tengah dinamika global saat ini?
0 Komentar