Receh.in – Ekonomi China menunjukkan performa yang solid pada kuartal kedua 2025, dengan pertumbuhan PDB mencapai 5,2% dari April hingga Juni.
Angka ini, yang diumumkan oleh Biro Statistik Nasional (NBS) Tiongkok, sesuai dengan perkiraan analis dan melampaui target pertumbuhan resmi pemerintah untuk tahun ini.
Pendorong utama pertumbuhan adalah ekspor yang kuat, namun para analis memperingatkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi lesunya permintaan konsumen domestik.
Meskipun data ini menjadi berita baik langka bagi kepemimpinan Tiongkok yang berupaya keras menggerakkan kembali pertumbuhan ekonomi, para ahli memproyeksikan potensi perlambatan di paruh kedua tahun ini. Ini disebabkan oleh dampak lanjutan dari gejolak perdagangan global dan konsumsi yang terus melambat.
Perang Tarif Trump: Tekanan pada Ekspor Tiongkok
Setelah kembali menjabat pada Januari, Presiden AS Donald Trump telah memberlakukan bea masuk baru pada Tiongkok dan sebagian besar mitra dagang utamanya.
Kebijakan ini mengancam ekspor Beijing pada saat Tiongkok semakin bergantung pada sektor tersebut untuk menstimulasi aktivitas ekonomi.
Meskipun kedua negara adidaya ini telah mencoba meredakan ketegangan setelah mencapai kerangka kesepakatan dalam pembicaraan di London bulan lalu, para pengamat memperingatkan adanya ketidakpastian yang masih membayangi.
Wakil Direktur NBS, Sheng Laiyun, menyatakan bahwa "ekonomi nasional mampu menahan tekanan dan menunjukkan perbaikan stabil meskipun menghadapi tantangan."
Ia menambahkan bahwa "produksi dan permintaan tumbuh stabil, lapangan kerja umumnya stabil, pendapatan rumah tangga terus meningkat, pendorong pertumbuhan baru menunjukkan perkembangan yang kuat, dan pengembangan berkualitas tinggi membuat kemajuan baru."
Namun, pertumbuhan 5,2% ini sedikit melambat dari 5,4% yang terlihat pada kuartal pertama, yang kala itu didorong oleh para eksportir yang bergegas mengirimkan barang sebelum tarif AS diberlakukan. Zichun Huang, Ekonom Tiongkok di Capital Economics, memperingatkan bahwa angka-angka ini "mungkin masih melebih-lebihkan kekuatan pertumbuhan."
Ia menambahkan, "Dengan ekspor yang diperkirakan melambat dan dorongan dari dukungan fiskal yang akan memudar, pertumbuhan kemungkinan akan melambat lebih lanjut selama paruh kedua tahun ini."
Konsumsi Domestik Lesu dan Ancaman Deflasi
Data penjualan ritel Tiongkok pada bulan lalu hanya naik 4,8% year-on-year, di bawah perkiraan survei ekonom Bloomberg. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong konsumsi domestik belum membuahkan hasil optimal.
Pembacaan yang lemah ini datang pada saat Beijing berjuang untuk beralih ke model pertumbuhan yang lebih didorong oleh permintaan domestik, daripada pendorong tradisional seperti investasi infrastruktur, manufaktur, dan ekspor.
Di sisi lain, output pabrik Tiongkok naik 6,8%, lebih tinggi dari perkiraan, mencerminkan tingginya permintaan berkelanjutan untuk ekspor Tiongkok yang telah mendorong pertumbuhan.
Namun, analis memperingatkan bahwa ekspor yang kuat ini justru dapat mendorong tekanan deflasi dan lebih lanjut menekan permintaan konsumen yang sudah lesu.
"Upaya baru-baru ini untuk meningkatkan pengeluaran, seperti perluasan skema tukar tambah barang konsumsi awal tahun ini, memang sempat mengangkat penjualan ritel," kata Sarah Tan, seorang ekonom di Moody's Analytics.
"Namun, dukungan ini terbukti tidak berkelanjutan, dengan laporan pendanaan yang mengering di beberapa provinsi. Keterbatasan skema ini menyoroti perlunya pembuat kebijakan untuk mengatasi tantangan struktural yang lebih dalam di balik kehati-hatian konsumen."
Data pekan lalu juga menunjukkan harga konsumen sedikit naik pada bulan Juni, hampir tidak menghentikan penurunan deflasi selama empat bulan, namun harga pabrik turun pada laju tercepat dalam hampir dua tahun.
"Ekonomi mencatat paruh pertama yang solid, didukung oleh ekspor yang tangguh, meskipun momentum ini berkontribusi pada pendalaman tren deflasi," kata Louise Loo, Kepala Ekonom Asia di Oxford Economics. "Biaya dari ekspor yang kuat adalah lebih banyak deflasi."
Dampak Pertumbuhan Tiongkok dan Perang Dagang Terhadap Indonesia
Sebagai salah satu mitra dagang terbesar dan investor utama Indonesia, kinerja ekonomi Tiongkok memiliki implikasi signifikan:
- Ekspor Komoditas Indonesia: Pertumbuhan ekspor Tiongkok yang kuat, terutama di sektor manufaktur, dapat meningkatkan permintaan terhadap komoditas mentah dari Indonesia seperti batu bara, nikel, minyak kelapa sawit, dan karet. Ini akan memberikan dorongan positif bagi neraca perdagangan Indonesia dan pendapatan perusahaan-perusahaan komoditas domestik.
- Investasi dan Proyek Infrastruktur: Ketahanan ekonomi Tiongkok juga dapat mendorong aliran investasi langsung asing (FDI) dari Tiongkok ke Indonesia, khususnya dalam proyek-proyek infrastruktur yang merupakan bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Ini akan membantu penciptaan lapangan kerja dan transfer teknologi.
- Tekanan Kompetisi dan Diversifikasi Pasar: Ekspor Tiongkok yang agresif, terutama di tengah perang tarif, dapat meningkatkan kompetisi bagi produk-produk Indonesia di pasar global tertentu. Ini mendorong Indonesia untuk lebih mendiversifikasi tujuan ekspornya dan meningkatkan nilai tambah produk agar lebih berdaya saing.
- Dampak pada Inflasi dan Kurs Rupiah: Fenomena deflasi di Tiongkok, jika terus berlanjut, dapat menyebabkan harga barang-barang impor dari Tiongkok menjadi lebih murah bagi Indonesia. Meskipun ini bisa membantu mengendalikan inflasi impor, juga dapat menekan sektor manufaktur domestik yang bersaing dengan produk Tiongkok. Fluktuasi kurs Yuan Tiongkok akibat perang dagang juga akan memengaruhi daya saing ekspor dan impor Indonesia.
- Permintaan Wisata dan Industri Jasa: Pemulihan ekonomi Tiongkok yang stabil diharapkan akan meningkatkan jumlah wisatawan Tiongkok ke Indonesia, memberikan dorongan bagi sektor pariwisata dan jasa.
Secara keseluruhan, meskipun pertumbuhan ekonomi Tiongkok di kuartal kedua memberikan sinyal positif, ancaman perang dagang dan lesunya konsumsi domestik di Tiongkok tetap menjadi faktor risiko yang harus dicermati.
Bagi Indonesia, ini berarti peluang dan tantangan. Penting bagi pemerintah dan pelaku bisnis Indonesia untuk terus memantau dinamika ekonomi Tiongkok dan mengembangkan strategi yang adaptif untuk memanfaatkan peluang serta memitigasi risiko yang ada.
0 Komentar