Ticker

4/recent/ticker-posts

BBRI Semester 1-2025: Laba Tergerus, Peringatan Kualitas Aset, dan Tantangan Bank Raksasa

Daftar Isi [Tampilkan]


Receh.in
– Perjalanan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) di paruh pertama tahun 2025 (1H25) menemui tantangan yang signifikan.

Raksasa perbankan dengan fokus kredit mikro ini mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 12% secara tahunan (YoY) menjadi Rp26,3 triliun.

Angka ini jauh di bawah ekspektasi pasar, memicu kekhawatiran dan sentimen negatif di kalangan investor.

Laporan keuangan yang baru dirilis mengungkap dinamika kompleks. Kami mengulas apa yang terjadi di balik angka-angka tersebut, yang menyoroti pergeseran strategi, tekanan makro, dan isu kualitas aset yang perlu dicermati.

 

Laba di Bawah Ekspektasi: Beban Provisi Menjadi Ganjalan

Pertama-tama, penurunan laba bersih yang mencolok pada 1H25 utamanya disebabkan oleh lonjakan beban provisi yang mencapai 26% YoY. Beban provisi adalah cadangan yang disisihkan bank untuk mengantisipasi potensi kredit macet di masa depan.

Kenaikan tajam ini mengindikasikan adanya peningkatan risiko kredit, yang secara langsung menggerus profitabilitas, meskipun Pendapatan Operasional Pra-Provisi (Pre-Provision Operating Profit/PPOP) masih menunjukkan pertumbuhan tipis sebesar 2% YoY.

Sobat Recehin, laporan keuangan Bank BRI menunjukkan bahwa tren ini paling nyata terjadi di segmen mikro. Kualitas aset di segmen ini memburuk, dengan rasio kredit bermasalah (NPL) segmen 'Mikro' meningkat dari 3,36% pada Maret 2025 menjadi 3,86% per Juni 2025.

Tampaknya perburukan ini terjadi di tengah perlambatan pertumbuhan kredit di segmen ini yang hanya naik 1,6% YoY.

Ini sangat kontras dengan kinerja segmen 'Korporasi' yang justru menunjukkan perbaikan, di mana NPL turun menjadi 1,61% dan pertumbuhan kredit melaju hingga 16% YoY.

Disparitas ini menunjukkan bahwa BBRI masih menghadapi pekerjaan rumah besar dalam mengelola risiko di segmen bisnis intinya.

 

Tren NII Membaik, Namun Terselubung Isu Non-II dan Akuntansi

Di tengah sentimen negatif, ada secercah harapan. Pendapatan Bunga Bersih (NII) pada kuartal kedua 2025 tumbuh 8% YoY, didorong oleh pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) khususnya giro dan tabungan (CASA) yang masing-masing naik menjadi +6% YoY dan +11% YoY.

Namun, perbaikan NII ini tidak mampu menopang laba secara keseluruhan karena adanya pelemahan Pendapatan Non-Bunga (Non-II) yang turun 3% YoY di 2Q25.

Manajemen BBRI menjelaskan penurunan Non-II ini disebabkan oleh penerapan standar akuntansi baru, IFRS 17, yang mengubah cara pengakuan pendapatan premi asuransi.

Alih-alih diakui secara penuh di awal, pendapatan kini dialokasikan sesuai dengan jangka waktu cakupan asuransi.

Perubahan ini memberikan gambaran yang lebih realistis dan terdistribusi mengenai pendapatan, namun secara teknis menekan angka Non-II di kuartal berjalan. Ini adalah isu yang juga dihadapi oleh bank lain yang memiliki bisnis asuransi, dan bukan sepenuhnya indikasi dari pelemahan bisnis.

 

Prospek 2H25: Optimisme Terbatas dan Sektor yang Kompetitif

Manajemen BBRI, sejalan dengan ekspektasi bank-bank besar lainnya, masih optimistis bahwa belanja pemerintah yang akseleratif dan potensi tren penurunan suku bunga di paruh kedua 2025 akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Hal ini diharapkan dapat mendorong permintaan kredit dan meningkatkan likuiditas perbankan. Namun, optimisme ini datang dengan catatan kehati-hatian.

BBRI memprediksi pertumbuhan kredit hingga akhir tahun hanya akan mencapai batas bawah dari target 7-9% YoY. Selain itu, Cost of Credit (CoC) atau biaya kredit diperkirakan akan berada di batas atas atau sedikit melebihi target 3-3,2%, mencerminkan kewaspadaan manajemen terhadap kualitas aset yang masih rentan.

Kondisi ini menunjukkan tantangan yang lebih luas di industri perbankan. Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kinerja perbankan swasta (misalnya BBCA) tercatat lebih unggul dibandingkan bank BUMN di 1H25.

Hal ini terutama disebabkan oleh kemampuan bank swasta menekan beban provisi, yang berbanding terbalik dengan bank BUMN yang justru menghadapi kenaikan beban ini. Hal ini mengindikasikan bahwa risiko kredit di sektor yang dilayani oleh bank BUMN, khususnya segmen mikro dan korporasi, cenderung lebih tinggi.

 

Koperasi Desa Merah Putih: Harapan di Segmen Mikro

Meskipun segmen mikro BBRI menghadapi tantangan, ada potensi cerah dari program pemerintah, yaitu 'Koperasi Desa Merah Putih' (KDMP).

Analis pasar melihat program ini sebagai sentimen positif untuk BBRI, karena akan memperluas potensi pembiayaan di sektor mikro dan pedesaan yang merupakan inti bisnis perseroan.

Dengan target pembentukan hingga 80.000 koperasi desa dan kebutuhan pembiayaan yang signifikan, program ini dapat menjadi katalisator pertumbuhan kredit mikro BBRI di masa depan, terutama jika skema pembiayaannya memanfaatkan kekuatan BRI dalam menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan dukungan penjaminan pemerintah.

 

Antara Kehati-hatian dan Potensi Pertumbuhan

Sobat Recehin, kinerja BBRI di paruh pertama 2025 menjadi pengingat bahwa di balik statusnya sebagai bank raksasa, tantangan tetap ada, terutama dalam mengelola kualitas aset dan menghadapi pergeseran regulasi akuntansi.

Investor perlu mencermati dengan seksama bagaimana manajemen BBRI akan menyeimbangkan kehati-hatian dalam pertumbuhan kredit dengan upaya meningkatkan kualitas aset di segmen mikro.

Keberhasilan implementasi program-program pemerintah seperti KDMP juga akan menjadi kunci untuk menentukan apakah BBRI dapat kembali ke jalur pertumbuhan profitabilitas yang solid di masa depan.

Meskipun ada turbulensi, fondasi kuat dan fokus pada segmen mikro yang didukung oleh pemerintah tetap menjadi keunggulan kompetitif yang tidak bisa diabaikan.

 

Posting Komentar

0 Komentar