Pokok Berita:
- Saham BBCA anjlok 2,64% ke Rp7.375, level penutupan terendah dalam tiga tahun terakhir, meski IHSG cetak rekor tertinggi baru.
- Dana asing keluar besar-besaran dari saham BBCA mencapai Rp31,19 triliun sepanjang 2025 — terbesar di Bursa Efek Indonesia.
- Pertumbuhan laba BBCA melambat, hanya naik 8% (YoY) di semester I/2025, menandai tren pelemahan empat kuartal berturut-turut.
Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), bank swasta terbesar di Indonesia milik Grup Djarum, mengalami tekanan tajam pada perdagangan Rabu (8/10/2025). Harga saham BBCA ditutup anjlok 2,64% ke level Rp7.375 per saham, mencatat posisi penutupan terendah dalam tiga tahun terakhir.
Koreksi ini menambah deretan pelemahan saham BBCA sepanjang 2025. Dalam sebulan terakhir, saham bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia ini sudah turun 7,81%, sementara secara year to date (YtD) telah anjlok 23,77%. Bahkan jika dibandingkan tiga tahun lalu, harga saham BBCA kini telah terkoreksi lebih dari 10%.
Ironisnya, penurunan tajam ini terjadi di tengah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang justru menembus rekor tertinggi baru (all-time high). Sepanjang tahun berjalan, IHSG sudah menguat 15,34% atau setara 1.086 poin. Namun di sisi lain, BBCA menjadi laggard terbesar, dengan kontribusi negatif lebih dari 145 poin terhadap IHSG.
Asing Kabur Massal
Salah satu faktor utama yang menekan harga BBCA adalah keluarnya dana asing secara besar-besaran. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, sepanjang 2025 tercatat Rp31,19 triliun dana asing keluar (net sell) dari saham BBCA. Angka ini menjadi yang terbesar di seluruh bursa, bahkan hampir dua kali lipat lebih besar dari emiten kedua yang paling banyak ditinggalkan investor asing.
Para analis menilai aksi jual asing yang deras ini tak lepas dari kekhawatiran terhadap perlambatan kinerja keuangan BBCA, yang mulai menunjukkan tanda-tanda tekanan margin dan pertumbuhan kredit yang lebih lambat di tengah likuiditas perbankan yang ketat.
Pertumbuhan Laba Mulai Melambat
Dari sisi fundamental, kinerja keuangan BBCA memang belum sekuat tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang paruh pertama 2025, BBCA membukukan laba bersih Rp29 triliun, naik hanya 8% secara tahunan (YoY). Walau masih tumbuh positif, angka tersebut menjadi pertumbuhan laba paling lambat dalam dua tahun terakhir.
Jika dilihat secara kuartalan (quarter-on-quarter), tren perlambatan ini makin terlihat jelas. Pada kuartal II/2025, laba yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk hanya naik 6,2% QoQ, dan bila ditarik lebih panjang, pertumbuhan laba kini sudah mendekati level terendah pada kuartal IV/2023 yang hanya tumbuh 3,7% QoQ.
“Empat kuartal terakhir menunjukkan pola yang konsisten: pertumbuhan laba melambat sementara valuasi BBCA tetap tinggi. Ini membuat sahamnya rentan terhadap aksi profit taking dan tekanan jual asing,” ujar salah satu analis perbankan senior yang dikutip CNBC Indonesia.
Sentimen Pasar dan Valuasi
Koreksi saham BBCA ini juga terjadi di tengah rotasi sektor di pasar saham domestik. Investor kini banyak beralih ke saham-saham sektor komoditas, konstruksi, dan transportasi yang menawarkan potensi pertumbuhan lebih tinggi dalam jangka pendek, terutama setelah pemerintah mengumumkan percepatan proyek hilirisasi dan infrastruktur di bawah pemerintahan baru.
Dengan valuasi price-to-book value (PBV) BBCA yang masih bertengger di kisaran 4,5 kali, pelaku pasar menilai harga saham bank ini belum cukup menarik dibandingkan bank-bank besar lain seperti BBRI atau BMRI yang memiliki rasio valuasi lebih rendah namun pertumbuhan laba lebih cepat.
Kendati demikian, sebagian analis tetap melihat potensi pemulihan BBCA dalam jangka menengah. “Secara historis, BBCA selalu menunjukkan ketahanan fundamental yang kuat. Koreksi kali ini lebih disebabkan oleh rotasi portofolio dan tekanan jangka pendek, bukan karena perubahan struktural pada bisnisnya,” kata seorang analis dari sekuritas asing yang berbasis di Singapura.
Catatan Sejarah yang Terulang
Menariknya, kejatuhan saham BBCA kali ini menjadi peristiwa langka. Sejak tahun 2000, saham BBCA hanya pernah mencatatkan penurunan tahunan sekali, yakni pada krisis finansial global 2008 dengan koreksi 10,96%. Namun kini, baru sembilan bulan berjalan di 2025, saham BBCA sudah terjun lebih dari 23%, mengulang catatan kelam yang jarang terjadi dalam dua dekade terakhir.
Dengan pelemahan yang tajam dan keluarnya dana asing besar-besaran, pasar kini menantikan strategi manajemen BBCA untuk mengembalikan kepercayaan investor. Sejumlah analis memperkirakan, pemulihan harga baru akan terjadi jika bank ini mampu menunjukkan percepatan pertumbuhan laba pada kuartal IV atau mengumumkan langkah ekspansi strategis di luar bisnis perbankan konvensional.
Untuk sementara, saham BBCA tetap menjadi laggard utama di tengah reli IHSG — sebuah paradoks di pasar modal yang memperlihatkan bagaimana bahkan bank paling solid di Indonesia pun tak kebal dari tekanan sentimen global dan rotasi modal asing.
0 Komentar