Recehin– PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) kembali mencatatkan kinerja keuangan yang menantang pada paruh pertama 2025. Emiten pelat merah sektor penerbangan itu membukukan rugi bersih US$143,7 juta atau sekitar Rp2,36 triliun (kurs JISDOR Rp16.233/US$ per 30 Juni 2025).
Capaian tersebut meningkat 41,37% dibanding periode
yang sama tahun sebelumnya, ketika rugi bersih
tercatat sekitar Rp1,69 triliun.
Kondisi ini sekaligus menegaskan bahwa proses pemulihan Garuda
pascarestrukturisasi utang belum sepenuhnya stabil.
Dari sisi pendapatan, Garuda meraup Rp25,76 triliun hingga akhir Juni 2025, turun 4,48% dari Rp26,97 triliun pada semester I 2024. Segmen penerbangan penumpang berjadwal masih menjadi kontributor utama dengan Rp18,37 triliun, tetapi turun 8,02% secara tahunan.
Sebaliknya, sejumlah lini usaha non-utama mencatat pertumbuhan. Pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal, termasuk layanan haji dan charter, naik 15,66% menjadi Rp3,43 triliun. Segmen kargo dan dokumen juga tumbuh 6,92% menjadi Rp1,34 triliun.
Beban usaha Garuda tercatat Rp25,04 triliun, turun tipis 1,82% dari tahun sebelumnya. Namun, beban gaji naik 3,76% menjadi Rp1,37 triliun, menandakan efisiensi biaya belum sepenuhnya merata. Dari sisi neraca, total aset turun 1,57% menjadi Rp108,42 triliun, sementara liabilitas naik tipis 0,51% ke Rp133,32 triliun. Kondisi tersebut membuat posisi ekuitas perusahaan masih negatif.
Tekanan Struktural GIAA
Sejumlah faktor eksternal ikut menekan kinerja maskapai
nasional ini. Fluktuasi harga avtur, kurs rupiah, serta ketatnya persaingan
tarif domestik membuat kontribusi segmen penerbangan berjadwal melemah. Di sisi
lain, kapasitas operasi yang meningkat melalui tambahan armada justru belum
sepenuhnya diimbangi dengan permintaan pasar.
“Penerbangan charter dan kargo memang menunjukkan pertumbuhan, tetapi kontribusinya masih relatif kecil. Pemulihan dari lini utama, yakni penerbangan berjadwal, akan sangat menentukan arah keuangan Garuda,” kata salah satu analis pasar modal yang dihubungi Bisnis.
Upaya Pemulihan
Manajemen Garuda menegaskan fokus pada strategi efisiensi dan diversifikasi pendapatan. Perusahaan telah menekan sebagian biaya operasional, mengoptimalkan penggunaan pesawat, serta memperluas layanan charter dan kargo.
Selain itu, dukungan dari pemerintah melalui Danantara, holding BUMN sektor aviasi dan pariwisata, menjadi kunci untuk memperbaiki likuiditas. Dari skema tersebut, Citilink sebagai anak usaha akan menerima suntikan modal dalam bentuk shareholder loan senilai Rp4,83 triliun. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat arus kas grup dan meringankan beban induk usaha.
Namun, tantangan masih besar. Dengan liabilitas yang lebih tinggi dibandingkan aset, Garuda harus mengandalkan arus kas operasional dan dukungan eksternal untuk bertahan. Tekanan dari biaya bahan bakar dan risiko volatilitas nilai tukar juga masih membayangi semester II 2025.
Kalangan analis menilai, meski kerugian Garuda meningkat, saham GIAA justru sempat menguat di tengah ekspektasi pasar terhadap dukungan pemerintah dan potensi perbaikan permintaan jelang musim puncak perjalanan akhir tahun.
Ke depan, kinerja GIAA akan sangat dipengaruhi oleh efektivitas restrukturisasi lanjutan, keberhasilan mengoptimalkan segmen non-jadwal, serta kestabilan harga avtur. Sementara itu, fokus pada keberlanjutan layanan dan transformasi armada diharapkan mampu menjaga daya saing maskapai pelat merah tersebut di pasar domestik maupun internasional.
0 Komentar