Ticker

4/recent/ticker-posts

Imbal Hasil SBN Terus Turun, Cerminkan Likuiditas Melimpah dan Sinyal Pelonggaran BI

Daftar Isi [Tampilkan]

 


📌 Pokok Berita:

  • Yield SBN 10 tahun turun ke 6,18% dan tenor 2 tahun ke 4,91%, level terendah dalam lebih dari dua tahun, mencerminkan longgarnya kondisi likuiditas domestik.
  • Likuiditas meningkat akibat kebijakan pro-growth Bank Indonesia, penurunan outstanding SRBI ke Rp709 triliun, dan penempatan dana pemerintah Rp200 triliun di Himbara.
  • Data ekonomi domestik melemah, dengan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) jatuh ke 115,0, terendah dalam 41 bulan, memperkuat ekspektasi pelonggaran moneter oleh BI.

 

Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) kembali melanjutkan tren penurunan pada Kamis (9/10), menandakan kondisi pasar uang yang semakin longgar di tengah sinyal perlambatan ekonomi domestik. Penurunan ini juga mengindikasikan ekspektasi meningkatnya pelonggaran moneter oleh Bank Indonesia (BI) dalam beberapa bulan ke depan.

Berdasarkan data pasar, yield SBN tenor 10 tahun turun ke 6,18%, menembus level psikologis di bawah 6,2% untuk pertama kalinya sejak Juli 2023. Sementara itu, yield tenor 2 tahun juga melemah ke 4,91%, yang merupakan posisi terendah sejak April 2022.

Chief Economist & Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, menilai penurunan ini menjadi cerminan likuiditas sistem keuangan domestik yang sangat longgar di tengah menurunnya tekanan makroekonomi.

“Penurunan yield mencerminkan kondisi pasar uang yang likuid dan ekspektasi bahwa BI akan tetap menjaga kebijakan pro-pertumbuhan. Namun di sisi lain, hal ini juga menandakan pelemahan aktivitas ekonomi di level rumah tangga dan manufaktur,” ujar Rully dalam publikasi risetnya, Kamis (9/10).

Likuiditas Melimpah, Yield Turun Serempak

Menurut Rully, turunnya imbal hasil SBN tidak hanya dipengaruhi oleh faktor global, tetapi juga oleh kebijakan domestik yang melonggarkan tekanan likuiditas perbankan.

“Tingginya likuiditas didorong oleh kebijakan pro-growth Bank Indonesia, terlihat dari penurunan jumlah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang beredar dan penempatan dana pemerintah Rp200 triliun di bank-bank Himbara,” jelasnya.

Data BI menunjukkan, total SRBI yang beredar per 30 September 2025 mencapai Rp709 triliun, turun Rp214 triliun secara year-to-date (YtD). Penurunan ini menandakan berkurangnya penyerapan likuiditas oleh BI, yang secara langsung mendorong penurunan suku bunga antarbank dan yield surat berharga negara.

Namun, menariknya, penurunan yield SBN justru terjadi di tengah penurunan kepemilikan asing di pasar obligasi. Hingga 6 Oktober 2025, kepemilikan asing tercatat sebesar Rp899,9 triliun atau 13,9% dari total outstanding, untuk pertama kalinya di bawah Rp900 triliun sejak Mei 2025.

“Persentase kepemilikan asing di SBN kini menjadi yang terendah sejak Juli 2024. Ini berarti, penurunan yield lebih disebabkan oleh faktor domestik, bukan arus masuk asing,” ujar Rully.

Data Ekonomi Melemah, Ekspektasi Pelonggaran Meningkat

Selain faktor likuiditas, pelemahan berbagai indikator ekonomi nasional turut memberi tekanan terhadap yield SBN. Berdasarkan data Bank Indonesia, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada September 2025 turun tajam ke 115,0, level terendah dalam 41 bulan terakhir.

Secara rinci, indeks kondisi ekonomi saat ini merosot ke 102,7, sementara indeks ekspektasi konsumen melemah ke 127,2, keduanya menunjukkan sinyal penurunan daya beli dan kepercayaan masyarakat terhadap prospek ekonomi.

Kondisi ini melengkapi rangkaian data yang melemah sebelumnya — seperti PMI manufaktur yang turun di bawah 50 dan cadangan devisa yang menurun signifikan pada September.

“Perlambatan di berbagai indikator ini membuka ruang bagi BI untuk memperkuat stimulus moneter, meski belum tentu melalui penurunan suku bunga acuan,” papar Rully.

Potensi Aksi BI di Pasar Surat Berharga

Menurut Rully, Bank Indonesia kemungkinan akan menambah likuiditas melalui operasi moneter, termasuk pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.

“Langkah ini akan memperbesar pasokan likuiditas dan menjaga stabilitas pasar obligasi, sekaligus menekan yield lebih lanjut,” ujarnya.

Rully menilai, bila tren penurunan yield berlanjut hingga akhir tahun, maka biaya pinjaman pemerintah akan semakin rendah — sebuah kondisi yang dapat mendukung pembiayaan defisit APBN 2025 tanpa perlu menambah tekanan di pasar primer.

“Yield SBN 10 tahun di bawah 6,2% menjadi sinyal kuat bahwa investor domestik, termasuk perbankan dan lembaga keuangan, masih memiliki ruang besar untuk menyerap obligasi pemerintah,” pungkasnya.

Dengan likuiditas yang melimpah, tekanan inflasi yang moderat, dan ekspektasi pelonggaran moneter di horizon 3–6 bulan mendatang, pasar obligasi Indonesia memasuki fase positif — di mana imbal hasil rendah mencerminkan keyakinan bahwa stabilitas finansial tetap terjaga meski ekonomi tumbuh melambat.

Posting Komentar

0 Komentar