Ticker

4/recent/ticker-posts

Risalah FOMC The Fed Bernada Dovish, Rupiah Menguat ke Rp16.549 per Dolar AS

Daftar Isi [Tampilkan]

 


📌 Pokok Berita:

  • Rupiah menguat 24 poin ke Rp16.549 per dolar AS, didorong oleh risalah FOMC The Fed September yang bernada dovish dan membuka peluang dua kali pemangkasan suku bunga tahun ini.
  • Sebagian besar pejabat The Fed menilai penurunan suku bunga tepat dilakukan karena pasar tenaga kerja melemah dan risiko inflasi menurun.
  • Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, memperkirakan rupiah bergerak stabil di kisaran Rp16.500–Rp16.600, dengan isu geopolitik Gaza belum berdampak signifikan terhadap pasar.

 

Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat pada awal perdagangan Kamis (9/10/2025), seiring meningkatnya optimisme pasar setelah risalah rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) September menunjukkan nada dovish atau cenderung longgar.

Mengutip data Bloomberg pukul 09.20 WIB, kurs rupiah diperdagangkan di Rp16.549 per dolar AS, menguat 24 poin (0,14%) dibandingkan penutupan Rabu (8/10) di Rp16.573 per dolar AS. Penguatan ini menjadi sinyal awal bahwa tekanan terhadap rupiah mulai mereda setelah beberapa hari sebelumnya sempat tertekan oleh ketidakpastian ekonomi Amerika Serikat.

Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai penguatan rupiah hari ini dipicu oleh ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan (Fed Funds Rate) dua kali sebelum akhir tahun. “Risalah FOMC yang dirilis menunjukkan sebagian besar pembuat kebijakan The Fed setuju bahwa pelonggaran moneter tambahan diperlukan karena pasar tenaga kerja menunjukkan pelemahan,” ujarnya kepada Ipotnews, Kamis (9/10).

Lukman memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.500–Rp16.600 per dolar AS sepanjang hari ini, dengan volatilitas relatif rendah karena pasar menunggu data inflasi dan tenaga kerja AS berikutnya.

Nada Dovish dalam Risalah FOMC

Risalah rapat FOMC yang dirilis Kamis dini hari waktu Asia memperlihatkan perubahan nada yang lebih berhati-hati. Sebagian besar anggota The Fed menilai risiko penurunan lapangan kerja kini lebih besar dibanding risiko inflasi.

“Sebagian besar peserta mengamati bahwa pergeseran rentang target suku bunga dana federal ke arah yang lebih netral adalah tindakan yang tepat karena risiko penurunan lapangan kerja meningkat, sementara risiko kenaikan inflasi telah berkurang atau tidak meningkat,” tulis risalah tersebut seperti dikutip dari Investing.com.

Pada pertemuan September, The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,00%–4,25%, pemotongan pertama dalam sembilan bulan terakhir. Keputusan itu diambil di tengah tanda-tanda melambatnya pertumbuhan upah dan perekrutan tenaga kerja baru, yang memberi ruang bagi The Fed untuk mulai mengendurkan kebijakan moneternya tanpa khawatir inflasi melonjak kembali.

Pasar kini memperkirakan peluang pemangkasan lanjutan sebesar 25 bps pada Desember mencapai 83%, menurut data CME FedWatch Tool. Ekspektasi ini membuat dolar AS melemah terhadap mayoritas mata uang utama dunia, termasuk rupiah dan yen Jepang.

Faktor Geopolitik Minim Pengaruh

Sementara itu, ketegangan geopolitik di Timur Tengah belum memberikan dampak besar terhadap pasar valuta asing. Lukman menilai pernyataan Donald Trump terkait “kesepakatan damai Gaza” antara Israel dan Hamas tidak direspons serius oleh pelaku pasar.

“Seperti biasanya, ucapan Trump seringkali tidak terealisasi. Jadi untuk saat ini, sentimen dari isu Gaza masih sangat minim pengaruhnya terhadap pasar,” ujarnya.

Meski demikian, investor tetap waspada terhadap risiko geopolitik yang berpotensi meningkatkan harga minyak global dan memperlemah sentimen aset berisiko, termasuk mata uang emerging markets seperti rupiah.

Prospek Jangka Pendek

Dengan sinyal dovish yang kuat dari The Fed, analis memperkirakan rupiah berpeluang melanjutkan penguatan terbatas dalam beberapa hari ke depan.

“Selama dolar AS masih terkoreksi karena ekspektasi pemangkasan suku bunga, rupiah punya ruang untuk menguat. Namun ruang penguatan kemungkinan terbatas karena faktor global masih rapuh,” jelas Lukman.

Ia menambahkan, level Rp16.500 menjadi support penting rupiah dalam jangka pendek. Jika level tersebut mampu ditembus, potensi penguatan bisa berlanjut menuju Rp16.450 per dolar AS.

Namun, jika data ekonomi AS berikutnya — seperti inflasi inti atau penjualan ritel — menunjukkan penguatan, pasar bisa kembali menyesuaikan ekspektasi terhadap arah kebijakan The Fed, yang pada gilirannya dapat menekan rupiah kembali ke kisaran Rp16.600–Rp16.650.

Untuk saat ini, nada dovish The Fed telah menjadi angin segar bagi mata uang Asia, dan rupiah berpeluang mempertahankan momentum positifnya selama ketegangan geopolitik global tetap terkendali dan arus modal asing kembali masuk ke pasar domestik.

Posting Komentar

0 Komentar