📌 Pokok Berita:
- Rupiah ditutup melemah tipis ke Rp16.573 per dolar AS, turun 12 poin (0,07%) akibat ketidakpastian ekonomi Amerika Serikat yang meningkat seiring penutupan pemerintahan AS dan spekulasi pemangkasan suku bunga The Fed.
- Faktor eksternal memburuk, dipicu gejolak politik di Prancis, ketidakpastian fiskal Jepang, dan konflik Rusia–Ukraina yang kembali mengganggu pasokan energi global.
- Sentimen domestik negatif muncul akibat isu penurunan cadangan emas BI sebesar 11 ton serta revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 di bawah 5% oleh lembaga internasional.
Nilai tukar rupiah melemah terbatas terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan Rabu (8/10/2025), di tengah meningkatnya ketidakpastian global dan memburuknya prospek ekonomi Amerika Serikat.
Mengutip data Bloomberg, kurs rupiah ditutup di level Rp16.573 per dolar AS, melemah 12 poin (0,07%) dibanding penutupan Selasa (7/10) di Rp16.561 per dolar AS.
Pengamat ekonomi dan komoditas Ibrahim Assuaibi menjelaskan bahwa pelemahan rupiah kali ini masih bersumber dari faktor eksternal, khususnya kondisi politik dan ekonomi Amerika Serikat yang kian tidak menentu.
“Penutupan pemerintahan AS kini memasuki minggu kedua. Kebuntuan politik di Kongres terkait rancangan undang-undang pendanaan belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Ini menimbulkan kekhawatiran baru di pasar,” ujar Ibrahim dalam keterangannya.
Menurutnya, meskipun secara historis dampak government shutdown AS terhadap ekonomi bersifat sementara, kali ini pasar melihat potensi efek yang lebih besar terhadap belanja pemerintah dan kepercayaan konsumen. Gedung Putih bahkan memperingatkan risiko perlambatan pertumbuhan jika situasi tidak segera diselesaikan.
Pasar kini memperkirakan The Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan Oktober, dengan peluang 83% pemangkasan tambahan pada Desember mendatang, menurut data CME FedWatch. Spekulasi pemangkasan suku bunga tersebut menambah volatilitas di pasar mata uang, termasuk terhadap rupiah.
Tekanan Eksternal Meluas dari Eropa hingga Asia
Selain dari Amerika Serikat, sentimen negatif juga datang dari Eropa dan Asia. Gejolak politik di Prancis kembali mencuat setelah Perdana Menteri Sebastien Lecornu resmi mengundurkan diri awal pekan ini, menimbulkan ketidakpastian terhadap arah kebijakan fiskal dan reformasi ekonomi negara tersebut.
Di Asia, ketidakpastian fiskal Jepang di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Sanae Takaichi turut menjadi perhatian pasar. Investor khawatir kenaikan defisit anggaran Jepang yang mencapai rekor tertinggi dalam satu dekade akan memperburuk sentimen terhadap aset berisiko di kawasan.
Sementara itu, konflik Rusia–Ukraina yang kembali memanas telah mengganggu pasokan energi global. Harga minyak dunia yang mendekati USD66 per barel (Brent) dan melonjaknya harga gas di Eropa turut memperkuat tekanan inflasi global — mendorong pelaku pasar untuk mencari aset lindung nilai seperti dolar AS dan emas.
Sentimen Domestik Ikut Menekan
Dari dalam negeri, rupiah juga tertekan oleh sentimen negatif menyusul kabar penurunan cadangan emas milik Bank Indonesia (BI). Data IMF mencatat cadangan emas BI turun 11 ton pada Juli 2025, sementara BI menegaskan tidak melakukan penjualan emas batangan.
“Penyusutan cadangan ini menimbulkan persepsi kurang transparan di pasar dan memperkuat tekanan terhadap rupiah,” jelas Ibrahim.
Selain itu, beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia (World Bank), IMF, OECD, dan Japan Credit Rating Agency (JCR) juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 ke bawah 5%, di bawah target pemerintah yang berkisar 5,2%. Penurunan ini mencerminkan kehati-hatian global terhadap prospek permintaan domestik dan investasi.
Prospek Jangka Pendek
Ke depan, Ibrahim memperkirakan rupiah masih berpotensi melemah terbatas, terutama bila ketidakpastian global belum mereda dan data ekonomi AS seperti inflasi atau tenaga kerja menunjukkan hasil yang tidak stabil.
“Meski tekanan masih ada, pelemahan rupiah saat ini relatif terkendali berkat intervensi BI di pasar valas dan stabilnya neraca perdagangan,” ujarnya.
Ia menambahkan, level psikologis Rp16.600 per dolar AS akan menjadi area kunci bagi rupiah dalam jangka pendek. Jika ketegangan politik AS mulai reda dan spekulasi penurunan suku bunga The Fed terealisasi, rupiah berpotensi kembali menguat ke kisaran Rp16.450–Rp16.500.
Namun, untuk sementara, pasar masih bergerak dalam mode risk-off, di mana pelaku investasi global cenderung menahan diri dan memilih dolar AS sebagai aset aman.
Dengan kondisi eksternal yang belum menentu dan faktor domestik yang moderat, rupiah diperkirakan akan tetap bergerak hati-hati dalam kisaran Rp16.550–Rp16.600 per dolar AS dalam beberapa hari ke depan.
0 Komentar