Receh.in – Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di kisaran 5% sepanjang sembilan bulan 2025 mencerminkan ketahanan sektor riil dan korporasi nasional di tengah tekanan global. Fenomena ini turut tergambar pada kinerja emiten-emiten konglomerasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang menunjukkan peningkatan pendapatan dan laba bersih, meskipun sebagian masih menghadapi tantangan dari fluktuasi harga komoditas dan pelemahan permintaan global.
Berdasarkan data dari 88 emiten konglomerasi, sebanyak 60 perusahaan mencatatkan pertumbuhan pendapatan tahunan (year-on-year/YoY), sementara 28 perusahaan mengalami penurunan omzet. Dari sisi laba bersih, 41 emiten membukukan pertumbuhan bottom line, 29 mengalami koreksi, dan 15 masih menanggung rugi, sementara 3 perusahaan berhasil berbalik mencatatkan laba.
Emiten yang berafiliasi dengan taipan besar seperti Prajogo Pangestu, Theodore Permadi Rachmat, dan Anthoni Salim menjadi sorotan karena performa yang menonjol, khususnya pada sektor energi, petrokimia, dan konsumsi.
Ekspansi Agresif Grup Barito dan Triputra
Kinerja solid datang dari Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu dan Grup Triputra milik TP Rachmat, yang mencatatkan pertumbuhan pendapatan di seluruh anak usahanya. Grup Barito, melalui PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) dan PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA), memetik hasil dari akuisisi Aster Chemicals and Energy Pte. Ltd. (ACE) di awal tahun, yang memperkuat bisnis petrokimia.
TPIA melanjutkan ekspansi dengan pembangunan pabrik Chlor-Alkali dan Ethylene Dichloride (CA-EDC) di Cilegon, Banten, yang kini mencapai 33% progres konstruksi, serta akuisisi jaringan SPBU Esso milik ExxonMobil di Singapura. Di sisi infrastruktur, PT Chandra Daya Investasi Tbk. (CDIA) memperluas kapasitas logistik dengan menambah dua armada kapal baru.
Sementara itu, PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) terus mengakselerasi bisnis energi hijau dengan kapasitas terpasang mencapai 989 MW per September 2025, dan menargetkan 2,3 GW energi terbarukan pada 2032. Proyek Salak Unit 7 dan Wayang Windu Unit 3 menjadi fokus utama ekspansi panas bumi dan tenaga angin yang diharapkan beroperasi komersial pada akhir 2026.
Kinerja positif Grup Barito memperkuat keyakinan pasar bahwa strategi ekspansi terdiversifikasi—dari petrokimia hingga energi baru terbarukan—menjadi pendorong utama pertumbuhan jangka panjang.
Konsistensi Indofood di Tengah Tekanan Makroekonomi
Dari sektor konsumsi, PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF) yang berada di bawah naungan Grup Salim membukukan pendapatan Rp90,98 triliun pada periode Januari–September 2025, tumbuh 4,64% YoY. Kinerja positif tersebut datang dari lini usaha consumer branded products (CBP), Bogasari, agribisnis, dan distribusi.
Meski demikian, laba bersih Indofood turun 10,03% menjadi Rp7,88 triliun, dipengaruhi oleh depresiasi rupiah yang menyebabkan rugi selisih kurs dari aktivitas pendanaan. Namun, laba inti perusahaan tetap meningkat 1% menjadi Rp8,42 triliun, mencerminkan kekuatan operasional Indofood yang tetap solid di tengah volatilitas ekonomi global.
Dengan model bisnis yang terintegrasi secara vertikal, Indofood mempertahankan pangsa pasar utama di berbagai segmen konsumsi domestik. Adaptasi terhadap perubahan preferensi konsumen, strategi harga yang efisien, dan efisiensi rantai pasok membantu perusahaan menjaga margin meski tekanan inflasi dan fluktuasi nilai tukar masih menjadi tantangan utama.
Tantangan dan Prospek Saham Konglomerasi Jelang Akhir Tahun
Meskipun banyak grup besar membukukan kinerja positif, sejumlah sektor konglomerasi masih menghadapi tekanan. Harga batu bara yang turun dari puncaknya pada 2022–2024 menekan margin laba perusahaan di sektor energi, terutama bagi emiten yang bergantung pada ekspor ke China, di tengah melimpahnya pasokan domestik. Sementara itu, sektor properti masih tertahan karena daya beli konsumen belum pulih sepenuhnya, dan penjualan unit residensial berjalan lambat.
Namun, menjelang akhir tahun, analis melihat adanya katalis positif dari potensi window dressing dan seasonal recovery di kuartal IV/2025. Stabilitas harga komoditas, inflasi yang terkendali, serta potensi pemangkasan suku bunga pada 2026 dapat menjadi faktor pendorong bagi saham-saham konglomerasi.
Katalis tambahan datang dari rebalancing indeks global dan domestik. Dalam evaluasi MSCI November 2025, saham BRMS dan BREN masuk ke dalam MSCI Global Standard Index, sementara DSNG, ENRG, KLBF, MSIN, RAJA, dan WIFI masuk kategori MSCI Small Cap Index. Di sisi lain, Bursa Efek Indonesia juga telah mengumumkan rotasi saham untuk indeks LQ45, IDX30, dan IDX80 yang berlaku November 2025 hingga Januari 2026.
Dengan dukungan proyek infrastruktur, ekspansi energi hijau, dan peningkatan likuiditas saham melalui indeks utama, prospek emiten konglomerasi dinilai masih kuat hingga 2026. Meski aksi ambil untung berpotensi menekan pergerakan jangka pendek, grup-grup besar seperti Barito, Salim, Triputra, dan Djarum masih dipandang sebagai motor utama penggerak kapitalisasi pasar domestik.

0 Komentar