Receh.in – Sinyal cerah datang dari pasar komoditas global. Harga batu bara metalurgi (met-coal) dan aluminium yang terus menguat sepanjang 2025 membuat prospek bisnis PT Adaro Minerals Indonesia Tbk. (ADMR) kembali menjadi sorotan investor.
Dalam laporan riset Indo Premier Sekuritas (IPS) bertajuk “Constructive Met-Coal and Aluminium Outlook” yang dirilis Kamis (13/11/2025), analis Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan meningkatkan proyeksi laba ADMR sekaligus merevisi target harga saham (TP) menjadi Rp1.700 per lembar dari sebelumnya Rp1.300, dengan rekomendasi beli (Buy) tetap dipertahankan.
Penguatan ini didukung dua katalis besar: rebound harga batu bara metalurgi dan pasokan aluminium yang semakin ketat akibat kebijakan pembatasan produksi di China. Kondisi ini menjadikan ADMR sebagai proxy strategis untuk kedua komoditas tersebut di pasar Indonesia.
Harga Batu Bara dan Aluminium Kompak Menguat
Harga hard coking coal (HCC) kini stabil di kisaran US$200 per ton, naik sekitar 13% dari titik terendah tahun ini, didorong oleh permintaan baru dari India dan pengetatan pasokan di China. Meski sebagian besar pabrik baja di Negeri Panda masih beroperasi dengan margin tipis, analis IPS menilai outlook batu bara metalurgi tahun fiskal 2026 (FY26F) tetap konstruktif, dengan ruang penurunan harga yang terbatas.
Sementara itu, harga aluminium bertahan kuat di level US$2.800 per ton, juga naik 13% sejak awal tahun. Faktor utamanya adalah kebijakan National Development & Reform Commission (NDRC) China yang tetap memberlakukan batas produksi 45 juta ton per tahun, ditambah pembatasan operasional saat musim dingin yang menekan output.
Di sisi lain, meredanya tensi dagang antara AS dan China pascapenangguhan kebijakan Section 301 turut mendorong optimisme di pasar industri dasar. IPS memperkirakan defisit pasokan aluminium sekitar 300 ribu ton pada 2026, yang akan menopang harga tinggi dan memperkuat margin bagi produsen global termasuk ADMR.
Target Laba Naik, Valuasi Semakin Menarik
Seiring dengan perbaikan outlook harga komoditas, IPS menaikkan proyeksi laba bersih ADMR sebesar 10% untuk FY26F dan 20% untuk FY27F. Kenaikan ini berasal dari revisi asumsi harga jual rata-rata (ASP) aluminium menjadi US$2.900 per ton di FY26F, meskipun volume penjualan masih konservatif di 325 ribu ton, mengingat fase peningkatan kapasitas produksi yang sedang berlangsung.
Dari sisi biaya, ADMR diperkirakan mencatat cash cost sebesar US$2.300 per ton pada 2026, yang akan turun menjadi US$2.100 per ton pada 2027 seiring efisiensi dan ramp-up smelter baru.
Dengan perbaikan ini, valuasi ADMR menjadi semakin menarik. Target harga Rp1.700 per saham mencerminkan potensi kenaikan signifikan dibanding harga pasar saat ini.
Namun, analis IPS juga mengingatkan potensi risiko dari penundaan operasional smelter aluminium, pemulihan permintaan baja yang lebih lambat dari perkiraan, serta cuaca ekstrem yang bisa mengganggu volume penjualan. Meski demikian, prospek jangka menengah ADMR dinilai tetap kuat, seiring perannya sebagai pemain terintegrasi di sektor met-coal dan aluminium — dua komoditas yang kini kembali bersinar di tengah siklus industri global yang menanjak.

0 Komentar