Receh.in – Rencana pemerintah menerapkan bea keluar untuk ekspor emas dan batu bara mulai memunculkan gelombang sentimen baru bagi deretan emiten emas besar di Bursa Efek Indonesia. PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA), dan PT United Tractors Tbk. (UNTR) menjadi tiga nama yang paling disorot karena eksposurnya terhadap komoditas tersebut.
JP Morgan menilai, jika aturan ini benar-benar bergulir, dampaknya tidak akan merata. Di satu sisi Antam berpotensi menikmati angin segar, sementara MDKA dan UNTR justru menghadapi tekanan tambahan.
Mengapa Pungutan Ekspor Emas Jadi Sorotan?
Pemerintah disebut tengah menyiapkan skema tarif bea keluar di rentang 7,5%–15%. Dorongan kebijakan ini dipicu realisasi penerimaan pajak yang masih di bawah ekspektasi, turun sekitar 3% secara tahunan per September 2025.
Bagi industri emas, tarif pungutan menjadi isu krusial karena mayoritas produksi tambang dalam negeri tidak mampu diserap pasar domestik. Berbeda dengan minyak atau batu bara, emas di Indonesia tetap mengandalkan pasar ekspor sebagai jalur utama monetisasi.
Dengan harga emas berada di kisaran US$4.000 per ons dan biaya tunai mayoritas penambang lokal duduk pada US$1.600–US$1.800, pungutan 15% dinilai bisa memangkas sekitar 30% EBITDA para produsen yang sangat bergantung pada ekspor.
ANTM Jadi Penerima Manfaat: Kapasitas Smelter Jadi Kunci
Berbeda dengan penambang, Antam justru diposisikan sebagai pihak yang diuntungkan. Hal ini terkait status perseroan sebagai penyuling emas domestik terbesar dengan kapasitas pemurnian 100 ton dan fasilitas pencetakan hingga 40 ton.
Dengan rencana pungutan ekspor, penambang emas tidak lagi leluasa menjual produk mereka ke luar negeri. Mereka akan terdorong memproses emas melalui fasilitas di dalam negeri, yang secara otomatis meningkatkan permintaan terhadap layanan pemurnian Antam.
Dorongan positif lain bagi ANTM muncul dari pemulihan sebagian pasokan emas Freeport setelah sebelumnya terhambat longsor di area tambang bawah tanah mereka. Hambatan pasokan ini sempat membuat volume penjualan emas ANTM pada kuartal III/2025 anjlok hingga 69% secara tahunan.
Jika volume ekspor beralih dan diproses oleh Antam, perusahaan berpeluang menikmati kenaikan produksi melebihi proyeksi 39 ton pada 2025 dan 35 ton pada 2026. Setiap peningkatan 1% volume produksi diperkirakan mampu mendongkrak laba bersih hingga 0,35%. Dalam skenario optimistis dengan produksi 44 ton emas dan harga nikel yang kuat, potensi laba bersih ANTM pada 2026 dapat mencapai Rp10,4 triliun.
MDKA dan UNTR Menghadapi Risiko Margin Tergerus
Berbanding terbalik dengan Antam, MDKA dan UNTR menghadapi tantangan besar karena sebagian besar penjualan emas mereka dilakukan melalui ekspor.
Jika pungutan diberlakukan, pilihan yang tersisa hanya dua: tetap mengekspor dan membayar tarif hingga 15%, atau mengalihkan penjualan ke pasar domestik melalui Antam. Kedua opsi ini sama-sama menekan margin.
Penjualan di dalam negeri berpotensi membuat harga jual lebih rendah 2%–3% dibandingkan ekspor. Belum lagi adanya pajak domestik 1,5% yang wajib dibayar penjual. Selain itu, pembeli di pasar lokal tidak menghargai kandungan perak dalam emas secara penuh, sehingga pendapatan tambang dengan deposit emas-perak bisa terpangkas lebih dalam. Antam yang memiliki daya tawar tinggi juga berpotensi meminta diskon tambahan dari penambang.
Situasi tersebut membuat laba MDKA dan UNTR rentan tertekan pada saat yang sama ketika biaya produksi komoditas global tengah meningkat.
Analisis: Kebijakan Baru Ini Mengubah Peta Persaingan Emas Nasional
Rencana pungutan ekspor emas berpotensi mengalihkan struktur bisnis industri emas dalam negeri. Antam berada dalam posisi strategis karena menguasai fasilitas pemurnian, sehingga arus pasokan bisa berpindah ke dalam negeri dan memulihkan kinerja segmen emasnya yang sempat terganggu pasokan Freeport.
Sebaliknya, MDKA dan UNTR menghadapi tekanan berlapis: penurunan harga jual, tambahan biaya pajak lokal, margin yang tergerus, dan daya tawar lebih rendah di hadapan pembeli domestik. Jika implementasi pungutan benar-benar terwujud, peta kompetisi industri emas nasional bisa mengalami pergeseran signifikan, di mana pemurni domestik seperti ANTM akan mendominasi, sementara penambang yang bergantung pada ekspor perlu mengatur ulang strategi komersial dan struktur biaya mereka.
0 Komentar