Receh.in — Saham PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR) sedang mengalami babak baru yang jarang terjadi dalam satu dekade terakhir. Setelah bertahun-tahun dicap “saham defensif yang stagnan”, emiten consumer goods legendaris ini mendadak menjadi salah satu bintang pasar saham Indonesia di paruh kedua 2025.
Pada perdagangan Jumat (24/10/2025), harga saham UNVR melesat hampir 12% ke Rp2.530 per lembar, dengan kapitalisasi pasar menembus Rp96,5 triliun. Kenaikan tajam itu bukan sekadar pantulan teknikal—melainkan respons atas laporan keuangan kuartal III yang mencatat lonjakan laba bersih 117% year-on-year (YoY) menjadi Rp1,18 triliun, dan pertumbuhan penjualan 12,4% YoY.
Hasil ini menandai titik balik nyata bagi Unilever setelah dua tahun penuh tekanan dari biaya bahan baku tinggi dan lemahnya daya beli masyarakat. Kini, perusahaan tampak kembali ke jalur pertumbuhan.
Momentum Fundamental: Volume Kembali, Margin Pulih
Analis pasar sepakat bahwa kunci kebangkitan Unilever ada pada dua hal: pemulihan volume penjualan dan efisiensi biaya.
Setelah beberapa kuartal kontraksi, penjualan di segmen Home & Personal Care melonjak 15% YoY pada kuartal III-2025, sementara segmen Foods & Refreshment tumbuh 9,4% YoY. Secara total, volume penjualan domestik naik 10%, menandakan permintaan konsumen benar-benar pulih.
Selain itu, margin laba kotor (gross profit margin) ikut meningkat menjadi 49,2%, mendekati level pra-pandemi. Ini menunjukkan strategi pengendalian biaya dan optimalisasi portofolio mulai berhasil.
Menurut catatan BRI Danareksa Sekuritas, hasil ini menjadi bukti bahwa Unilever telah keluar dari masa stagnasi. “Kinerja kuat tersebut mencerminkan perbaikan sentimen konsumen dan pengendalian biaya yang lebih disiplin. UNVR kini berada di fase titik balik pemulihan setelah tekanan sejak kuartal IV-2023,” tulis analis Sabela Nur Amalina dan Christy Halim dalam risetnya.
Langkah Transformasi yang Mulai Terlihat
Presiden Direktur Unilever Indonesia, Benjie Yap, mengakui perusahaan telah menjalankan strategi tiga pilar sejak awal tahun: memperkuat kategori produk, memperluas kanal penjualan, dan mengefisienkan biaya.
Dari sisi produk, lebih dari 85% merek Unilever telah meluncurkan inovasi baru pada 2025. Empat belas merek utama seperti Pepsodent, Bango, Royco, Vaseline, dan Dove mencatatkan pertumbuhan positif dan berkontribusi terhadap 65% dari total penjualan. Perusahaan juga mulai menggeser fokus ke segmen dengan potensi pertumbuhan tinggi seperti Beauty & Wellbeing serta Home Care.
Dari sisi kanal distribusi, Unilever memperkuat jaringan ritel tradisional melalui platform digital Sahabat Warung, memperluas jangkauan toko hingga 18%, dan menambah tenaga penjualan sebesar 19%.
Sementara dari sisi biaya, transformasi digital di rantai pasok dan penghematan logistik berhasil meningkatkan efisiensi, sekaligus membuka ruang untuk reinvestasi ke merek dan inovasi baru.
“Langkah-langkah penyederhanaan portofolio dan transformasi digital telah menyiapkan kami untuk dampak jangka panjang,” ujar Benjie.
Buyback, Divestasi, dan Dividen: Daya Tarik Investor
Selain perbaikan kinerja, dua kebijakan korporasi ikut mengerek sentimen pasar: program pembelian kembali saham (buyback) dan rencana pembagian dividen besar.
Hingga September 2025, Unilever telah membeli kembali 168,8 juta saham, atau sekitar 14,3% dari porsi buyback yang disetujui, dengan nilai mencapai Rp2 triliun. Langkah ini memperkecil jumlah saham beredar dan memperkuat EPS (earning per share).
Selain itu, manajemen menegaskan rasio pembagian dividen tetap 100% laba bersih, dan hasil divestasi bisnis es krim juga akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk special dividend. Jika terealisasi, total dividen tahun buku 2025 bisa mencapai sekitar Rp210 per saham, dengan yield mendekati 9% pada harga saat ini.
Tak heran jika sejumlah analis mulai menaikkan target harga.
- Panin Sekuritas: Rp2.650
- Ciptadana Sekuritas Asia: Rp2.500
- CLSA: Rp2.700
- Mirae Asset Sekuritas: Rp2.750
- BRI Danareksa Sekuritas: bahkan Rp3.200 dengan rekomendasi buy
Sebaliknya, JP Morgan masih berhati-hati dengan target Rp1.900, menilai valuasi UNVR sudah cukup tinggi setelah reli tajam.
Mengubah Narasi: Dari Defensif ke “Defensif Bertumbuh”
Sebelum 2025, Unilever sering dianggap sebagai saham dividend play dengan pertumbuhan stagnan. Namun, tahun ini narasinya bergeser.
Pemulihan volume, efisiensi margin, serta restrukturisasi organisasi yang sedang berjalan menjadikan UNVR lebih dari sekadar “saham aman”. Ia kini mulai tampil sebagai emiten defensif yang kembali bertumbuh.
Bahkan, data Bloomberg menunjukkan bahwa revisi proyeksi laba 2025 untuk UNVR telah naik 14% dalam tiga bulan terakhir, dan masih berpotensi direvisi naik kembali bila momentum volume berlanjut di kuartal IV.
Tantangan ke Depan: Restrukturisasi dan Daya Beli
Meski cerah, perjalanan Unilever belum tanpa risiko. Perseroan memproyeksikan biaya restrukturisasi sebesar Rp300–400 miliar pada kuartal IV-2025, yang bisa menekan laba kuartalan secara sementara.
Selain itu, segmen kosmetik dan kecantikan masih menghadapi tekanan daya beli masyarakat. Perusahaan pun berencana melakukan relaunch beberapa produk untuk memperkuat relevansi merek.
Namun, analis menilai beban restrukturisasi bersifat satu kali (one-off cost), sementara tren efisiensi dan pertumbuhan volume kemungkinan tetap berlanjut ke 2026.
Momentum Baru, Tapi Disiplin Diperlukan
Pasar kini melihat UNVR bukan hanya sebagai “pembagi dividen rutin”, melainkan perusahaan yang sedang menjalani transformasi nyata.
Pemulihan penjualan, efisiensi biaya, serta strategi inovasi produk menunjukkan bahwa Unilever mulai keluar dari fase stagnasi menuju fase ekspansi berkualitas.
Dalam jangka pendek, koreksi teknikal bisa saja terjadi setelah reli besar, namun dalam horizon 6–12 bulan, saham UNVR tetap menarik—terutama dengan kombinasi fundamental kuat, prospek dividen tinggi, dan strategi bisnis yang berorientasi pada keberlanjutan.
Jika momentum ini konsisten, target Rp3.000–3.200 per saham bukan sekadar optimisme, melainkan refleksi dari kembalinya kepercayaan investor terhadap salah satu ikon korporasi konsumer Indonesia.

0 Komentar