Receh.in — Emiten pelat merah sektor tambang, PT Timah Tbk (TINS), mencatatkan penurunan kinerja signifikan sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2025. Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2025, laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun 33,71% year-on-year (yoy) menjadi Rp602,42 miliar, dibandingkan Rp908,78 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Pelemahan laba bersih ini sejalan dengan anjloknya pendapatan usaha 20% menjadi Rp6,60 triliun, dari Rp8,25 triliun pada Januari–September 2024.
Margin Laba Tertekan di Tengah Penurunan Pendapatan
Meski beban pokok pendapatan berhasil ditekan dari Rp6,05 triliun menjadi Rp5,07 triliun, penurunan pendapatan yang lebih dalam membuat laba bruto tetap menyusut menjadi Rp1,53 triliun, turun dari Rp2,20 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Tekanan juga terlihat pada laba sebelum pajak yang terkoreksi ke Rp812,80 miliar, turun dari Rp1,25 triliun pada 9M24. Akibatnya, laba per saham dasar (EPS) TINS ikut terpangkas dari Rp122 menjadi Rp81 per lembar saham.
Analis menilai, penurunan ini mencerminkan dampak fluktuasi harga timah global yang masih berada di bawah tekanan akibat pelemahan permintaan industri elektronik dan perlambatan ekonomi di Tiongkok.
Aset Naik, Tapi Utang Ikut Membengkak
Dari sisi neraca, total aset TINS meningkat 7% menjadi Rp13,69 triliun, dari Rp12,79 triliun di akhir 2024. Kenaikan ini terutama ditopang oleh kenaikan aset lancar, khususnya pada pos piutang usaha dan persediaan, yang kini mencapai Rp7,25 triliun.
Namun, di sisi lain, total liabilitas juga melonjak signifikan menjadi Rp6,08 triliun, dibandingkan Rp5,34 triliun di akhir tahun lalu. Lonjakan terbesar terjadi pada liabilitas jangka pendek, yang meningkat tajam dari Rp2,71 triliun menjadi Rp4,08 triliun, didorong oleh kenaikan utang usaha dan pinjaman bank jangka pendek.
Adapun total ekuitas perusahaan naik tipis menjadi Rp7,61 triliun, dari Rp7,44 triliun pada akhir 2024.
Outlook: Harga Timah Masih Jadi Katalis Utama
Pelemahan laba TINS di 9M25 mencerminkan tekanan struktural di industri logam, terutama akibat harga timah dunia yang masih bergerak di bawah US$30.000 per ton.
Meski demikian, TINS masih memiliki fundamental aset kuat dan kapasitas produksi besar, sehingga pemulihan kinerja berpotensi terjadi jika harga timah kembali stabil pada 2026.
Untuk jangka pendek, manajemen perlu menjaga rasio utang jangka pendek agar tidak menekan likuiditas, sembari memaksimalkan efisiensi biaya produksi dan ekspor.

0 Komentar