Receh.in – Nilai tukar rupiah ditutup melemah tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir perdagangan Rabu (5/11), seiring meningkatnya ketidakpastian politik dan ekonomi di AS akibat penutupan pemerintahan federal (government shutdown) yang kini memasuki minggu keenam.
Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup di level Rp16.717 per dolar AS, melemah 9 poin atau 0,06% dibandingkan posisi Selasa (4/11) di Rp16.708 per dolar AS.
Pengamat ekonomi, mata uang, dan komoditas Ibrahim Assuaibi menilai pelemahan rupiah masih didorong faktor eksternal, terutama dari dinamika pasar AS. Dolar AS terus menguat sejak pekan lalu, setelah pernyataan The Federal Reserve (The Fed) yang menegaskan belum ada kepastian mengenai pemangkasan suku bunga pada Desember mendatang.
“Meskipun The Fed memangkas suku bunga 25 basis poin pada Oktober, langkah itu sudah diantisipasi pasar, sehingga tidak banyak menahan penguatan dolar,” kata Ibrahim dalam publikasi risetnya, Rabu sore.
Ia menjelaskan, berdasarkan data CME FedWatch, pasar memperkirakan peluang 69,8% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga lagi sebesar 25 basis poin pada Desember, sementara 30,2% memperkirakan suku bunga tetap dipertahankan.
Ketidakpastian Politik AS Tekan Sentimen
Selain kebijakan moneter, fokus utama pasar juga tertuju
pada kebuntuan politik di Kongres AS yang membuat pemerintahan federal
belum dapat beroperasi penuh selama enam pekan terakhir.
“Upaya terbaru untuk meloloskan undang-undang sementara yang diajukan Partai
Republik gagal disetujui Senat untuk ke-14 kalinya,” ujar Ibrahim.
Kondisi ini meningkatkan kekhawatiran akan dampak ekonomi yang lebih luas, termasuk terhadap kepercayaan pasar dan data fiskal pemerintah AS. Investor juga mencermati data penggajian swasta (ADP) untuk Oktober 2025, yang diperkirakan menunjukkan penambahan 25.000 lapangan kerja setelah sebelumnya turun 32.000.
Menurut Ibrahim, data ketenagakerjaan ini akan menjadi petunjuk penting bagi arah kebijakan The Fed berikutnya. Jika hasilnya lebih lemah dari ekspektasi, peluang pemangkasan suku bunga Desember akan menguat — yang bisa menekan dolar dan memberi ruang penguatan bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Fundamental Domestik Masih Solid
Dari dalam negeri, sentimen fundamental masih menunjukkan
kekuatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 5,04% year-on-year (yoy) pada kuartal III-2025, menandakan
aktivitas ekonomi nasional tetap solid di tengah ketidakpastian global.
Secara kuartalan, ekonomi tumbuh 1,43% (qoq),
sedangkan secara kumulatif Januari–September 2025, pertumbuhan mencapai 5,01%
yoy.
Adapun besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku tercatat Rp6.060
triliun, sementara atas dasar harga konstan mencapai Rp3.444,8 triliun.
“Fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat, didukung
oleh konsumsi domestik dan neraca perdagangan yang surplus,” jelas Ibrahim.
“Namun, tekanan eksternal dari pergerakan dolar dan ketidakpastian politik
global membuat rupiah bergerak terbatas.”
Proyeksi Pergerakan
Untuk perdagangan Kamis (6/11), Ibrahim memperkirakan rupiah akan bergerak fluktuatif namun cenderung melemah, di kisaran Rp16.710–Rp16.760 per dolar AS.
Kondisi pasar diperkirakan masih sensitif terhadap rilis
data ekonomi AS dan perkembangan negosiasi politik di Washington.
“Jika ada sinyal positif terkait penyelesaian shutdown, dolar bisa
melemah dan memberi napas bagi rupiah. Sebaliknya, jika kebuntuan berlanjut,
pasar akan tetap berhati-hati,” pungkasnya.
Ringkasan Utama
- Rupiah ditutup melemah 0,06% ke Rp16.717/US$.
- Tekanan berasal dari penguatan dolar dan ketidakpastian politik AS.
- The Fed belum pastikan pemangkasan suku bunga Desember; peluang 69,8%.
- Ekonomi Indonesia tumbuh 5,04% yoy pada Q3-2025, menunjukkan fundamental tetap kuat.
- Rupiah diperkirakan bergerak di rentang Rp16.710–Rp16.760/US$ pada Kamis.

0 Komentar