Ticker

4/recent/ticker-posts

Manuver Putera Sampoerna: Menantang Kutukan Generasi Ketiga hingga Mengibarkan Bendera Baru

Daftar Isi [Tampilkan]

Receh.in – Kisah empat dekade perjalanan Putera Sampoerna menakhodai imperium bisnis keluarganya adalah pengecualian dari pepatah kuno yang kerap menghantui dinasti-dinasti bisnis dunia. Dalam tradisi Tionghoa, terdapat ungkapan fu bu guo san dai, yang menggambarkan sulitnya kekayaan keluarga bertahan lebih dari tiga generasi. Versi lain bermunculan di Amerika maupun Inggris, menegaskan bahwa generasi ketiga sering kali menjadi titik rapuh sebuah dinasti bisnis.

Namun Putera Sampoerna bergerak di jalur berbeda. Di tangan generasi ketiga keluarga Sampoerna ini, imperium tidak sekadar dipertahankan, tetapi berkali-kali diputar haluannya melalui langkah-langkah yang kadang tidak populer—dan hampir selalu lebih cepat daripada pembacaan pasar.

 

Agresivitas Sejak Muda: Bank Sampoerna, Alfa Gudang Rabat, hingga Listing HMSP

Akhir 1970-an hingga awal 1980-an menjadi titik awal transformasi Sampoerna. Putera mulai memperluas cakupan bisnis keluarga jauh melampaui rokok. Bank Sampoerna berdiri pada 1980—sebuah langkah progresif yang kemudian harus dilepas pada 1992.

Pada 1989, ia bersama Djoko Susanto mendirikan Alfa Gudang Rabat, embrio dari Alfamart yang hari ini menjadi raksasa ritel modern Indonesia. Keberadaan jaringan ritel itu ikut membantu memperkuat distribusi bisnis kretek Sampoerna pada era tersebut.

Tidak berhenti di sana, Putera mengambil langkah berani dengan membawa HM Sampoerna ke lantai bursa pada 1990. Saat banyak perusahaan rokok memilih menjaga privasi dan eksklusivitas, Sampoerna justru membuka pintu transparansi di pasar modal, meski ini sempat menuai penolakan internal keluarga.

Manuver berlanjut pada 1996 dan 1997 ketika Putera membantu penyelamatan Astra dengan membeli 12,67% sahamnya, serta mengambil 5,63% saham Indofood sebagai bagian dari optimalisasi distribusi.

 

Penjualan Besar ke Philip Morris dan Arah Baru Bisnis Sampoerna

Memasuki milenium baru, tongkat kepemimpinan diserahkan ke generasi keempat, Michael Ryan Joseph Sampoerna. Tak lama setelah itu, keputusan terbesar dalam sejarah bisnis keluarga terjadi: HM Sampoerna dijual ke Philip Morris senilai US$2 miliar pada 2005.

Banyak pihak mempertanyakan keputusan melepas angsa bertelur emas tersebut. Namun Putera membaca tanda zaman lebih cepat: industri rokok akan menghadapi tekanan regulasi dan perubahan gaya hidup yang menyulitkan pertumbuhan. Dua dekade berselang, prediksi itu terbukti. Industri tembakau mengalami tekanan cukai, dinamika daya beli, hingga PHK massal di berbagai perusahaan.

Namun berbeda dengan dinasti Djarum dan Gudang Garam yang tetap memilih bertahan, Sampoerna justru membelokkan arah bisnisnya ke sektor-sektor baru.

Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI), pemilik merek Ceria yang kemudian berubah menjadi Net1 Indonesia, menjadi salah satu langkah diversifikasi besar pada pertengahan 2000-an. Pada 2007, Sampoerna mengambil alih Selapan Jaya—cikal-bakal Sampoerna Agro (SGRO). Kemudian Bank Dipo International juga masuk ke portofolio, berubah menjadi Bank Sahabat Sampoerna pada 2011.

Bank tersebut bahkan sempat direncanakan untuk IPO pada 2021 sebelum pandemi membuat rencana itu tertunda hingga kini.

 

Dilepas ke Posco: Sinyal Baru dari Sampoerna Agro dan Arah Industri Sawit

Langkah mengejutkan kembali terjadi ketika SGRO dipindahtangankan kepada Posco International. Langkah ini memunculkan pertanyaan: apakah keputusan ini mencerminkan pandangan jangka panjang Sampoerna terhadap industri sawit, sebagaimana ia membaca masa depan industri rokok dua dekade lalu?

Yang menarik, pelepasan itu justru terjadi ketika saham SGRO sedang kuat. Hingga Jumat (21/11/2025), SGRO menguat di level Rp7.375 per saham, sudah melompat lebih dari 244% sejak awal tahun.

Pandangan analis pun masih konstruktif terhadap industri kelapa sawit. Harga CPO stabil di area 4.500 ringgit per ton dan mandat biodiesel—dari B40 hingga potensi transisi ke B50—mendukung permintaan domestik yang dapat memperketat pasokan. Permintaan global juga tetap menjadi penopang kuat bagi prospek industri perkebunan pada 2026.

Di tengah kondisi yang justru cerah bagi sawit, keputusan Sampoerna melepas SGRO memunculkan asumsi bahwa konglomerasi mereka tengah menyiapkan lompatan baru—konsisten dengan pola manuver empat dekade terakhir: masuk lebih awal, keluar sebelum puncak tekanan, dan mengalihkan modal ke sektor dengan peluang pertumbuhan baru.

 

Analisis: Pola Konsisten Sampoerna, dan Spekulasi Arah Baru Sang Konglomerat

Jika melihat jejak rekam Putera Sampoerna, ada pola yang selalu berulang: membaca arah industri lebih awal dibandingkan pasar, keluar pada momentum yang tepat, dan menggunakan hasilnya untuk membuka babak baru. Hal itu terjadi pada industri rokok, kemudian telekomunikasi, lalu perbankan, dan kini sawit.

Pelepasan SGRO bisa menjadi sinyal bahwa klan Sampoerna kembali melihat potensi perubahan struktural di sektor komoditas. Pertanyaannya kini bukan lagi mengapa SGRO dilepas—melainkan sektor apa yang akan menjadi sasaran berikutnya. Dengan rekam jejak empat dekade penuh manuver tak terduga, langkah baru keluarga Sampoerna kemungkinan besar akan kembali menjadi barometer arah industri di masa depan.

Posting Komentar

0 Komentar